Rabu, 24 November 2010

Jawara Pemegang Waralaba Dunia


Jejak Panjang Para Jawara
Kisah sukses dedengkot pemegang waralaba kelas dunia


Perlu waktu bertahun-tahun dan harus melewati serangkaian tes melelahkan agar bisa menjadi pemegang waralaba kelas dunia. Hasilnya memang sepadan karena keuntungan mengalir tiada henti. Simak kisah para jawara pemegang waralaba dunia.

Siapa yang tak kenal nama McDonald's, Starbuck dan Breadtalk? Ketiganya sudah sangat melekat dalam ingatan kita. McDonald's adalah merek hamburger Amerika yang kini sudah mendunia. Starbuck merujuk nama kedai kopi elite kelas mal dari negeri yang sama. Breadtalk adalah merek roti dari negara tetangga Singapura.

Jumlah gerai franchise top itu terus bertambah dan makin mudah kita jangkau. Tapi untuk membawa nama-nama tersebut ke Indonesia dan jadi akrab di kuping perlu waktu panjang dan melewati jalan berliku. Butuh kerja keras, modal besar, hingga kelihaian melobi agar merek-merek yang sudah melanglang buana itu bersedia mampir di Indonesia.

Tanyakan saja pada Bambang N. Rachmadi saat melamar McDonald's. Cobalah meminta Matheus Rukmasaleh Arif dan Boyke Gozali berbagi cerita saat mereka meminang Starbuck. Anda perlu menyimak pula penuturan Johnny Andrean yang tukang salon ketika hendak menggaet Breadtalk. "Wah, berat. Syaratnya ketat banget," kata Ake Arif, sapaan Rukmasaleh, seolah mewakili suara mereka.

Yang kita tahu, hasil jerih mereka tak sia-sia. Orang Jawa menyebutnya cucuk, dan kita bilang impas. Buktinya, Bambang bisa menangguk omzet entah berapa miliar rupiah saban tahun dari ratusan kedai McD yang ia kuasai. Jumlah outlet Starbuck juga sudah mencapai 60 hanya dalam waktu empat tahun. Dan ribuan pembeli yang tetap rela mengantre di depan gerai Breadtalk menunjukkan bisnis roti ini mendatangkan untung.

Jadi pembersih toilet untuk melamar McD
Bambang, misalnya, harus bersaing dengan 39 pelamar agar bisa jadi pemegang waralaba McD untuk Indonesia. Kisahnya bermula pada 1988. Selepas jabatannya sebagai Presiden Direktur Bank Panin, pria bertubuh tinggi besar yang disapa Toni ini berniat membuka usaha sendiri. Setelah menguping dan lirik sana-sini, Toni terpikat untuk menjadi pemegang lisensi restoran hamburger paling sohor sejagat itu di Indonesia. Alasannya sederhana: jaringan hamburger bermerek ini begitu sukses di seluruh muka bumi tapi belum ada di Indonesia.

Ia lantas melayangkan lamaran ke Kantor Pusat McD di Illinois Amerika Serikat. Setahun lamanya lamarannya tak berbalas. Setelah bosan menunggu, Toni mencoba mengubah strategi menggunakan jalur lobi. Kebetulan, McDonald's Singapura jadi salah satu pengiklan Stasiun Radio Ramako miliknya yang mengudara di Batam. Ia lantas menemui pemilik franchise McDonald's Singapura, Bobby Kwan, agar bersedia memberi rekomendasi.

Rupanya Bobby tak berkeberatan dan merekomendasikannya agar bisa bertemu dengan Peter Richie, pengelola McDonald's Australia. Kebetulan, Richie adalah orang yang bertugas untuk mencari mitra di Indonesia. Toni memang berhasil bertemu Richie. Tapi bukan berarti ia sudah memegang lisensi McD. Sebab, mantan Direktur Keuangan Bank Duta ini masih harus mengikuti tes di Singapura dan bersaing dengan 39 pelamar lain dari Indonesia.

Di Negeri Singa ia harus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Bayangkan saja. Seorang bekas dirut bank terkemuka harus menjadi tukang pel dan pembersih toilet di sebuah restoran. Masalahnya, bukan cuma harus bekerja berat sampai di atas 12 jam, tapi dia juga harus berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang banyak berkunjung ke sana. "Mereka yang mengenal saya bingung, kenapa saya jadi pelayan di sana," katanya mengenang.

Toni memang bisa lulus dari ujian berat tersebut, tapi masih harus menyisihkan 19 pesaing sisa yang sama-sama lolos penyaringan di Singapura. Mereka lantas menjalani tes pamungkas di Sidney Australia untuk menentukan pemenang. Hasil akhirnya, Bambang lah yang berhak mengantongi lisensi untuk membuka McD di Indonesia.

Dengan modal awal Rp 3 miliar, ia pun membuka restoran McDonald's di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Pilihannya tak salah. Dari yang semula satu restoran, gerai-gerai McD lantas beranak pinak puluhan hingga ratusan buah. Toni sekarang sudah berhasil menancapkan gerai burgernya hingga lebih dari 110 gerai di seantero Indonesia.


Lima tahun melamar Starbuck
Perjuangan Toni nan panjang dan melelahkan sudah pasti tak sia-sia. McD jadi tambang emas PT Ramako Gerbang Mas, induk usaha milik suami Sri Adyanti Soedharmono tersebut. Diperkirakan, omzetnya mencapai lebih dari Rp 3 miliar sehari dari hasil berjualan burger, kentang, dan ayam goreng.

Menanti bertahun-tahun juga harus dilalui Ake Arif dan Boyke Gozali ketika meminang kedai kopi kelas mal bernama Starbuck. "Kalau enggak salah inget, izin baru turun setelah empat-lima tahunan dari awal proposal kami masukkan," ucap Ake, mengingat. Ide menggaet kedai kopi modern ini bermula ketika Boyke masih berada di Amerika. Boyke lantas berpikiran untuk membawanya ke Indonesia.

Selama masa menanti, mereka harus bisa meyakinkan petinggi Starbuck di Seattle agar bersedia berbagi waralaba kepada mereka. Sejumlah prosedur dan persyaratan berat juga harus mereka lalui. Mulai dari mempresentasikan rencana bisnis, hingga kesediaan menyekolahkan sejumlah karyawannya untuk menimba ilmu kopi. "Kami tebar pesonalah, he..he..," tambah Ake.

Usaha mereka memang tak sia-sia. Mereka akhirnya lulus dan menjadi pemegang hak mengelola Starbuck di Indonesia. Kendati begitu, bukan berarti mereka bisa bebas. Sebab, selain membayar royalty, mereka tetap harus rutin melaporkan perkembangan Starbuck di Indonesia. Bahkan Ake mengatakan bahwa untuk membuka satu gerai sekalipun ia harus minta izin dari kantor pusat Starbuck dan tak bisa seenaknya menentukan lokasi pendirian gerai. "Hanya boleh di kota-kota besar. Bahkan waktu mau membuka di Surabaya saja susahnya minta ampun," kata Ake.

Toh, sejauh ini usaha mereka tetap moncer. Kendati baru empat tahun mendapat hak tersebut, kini sekitar 60 gerai Starbuck siap menyediakan kopi di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar.


Belajar membuat roti berbulan-bulan
Kita selama ini lebih mengenal nama Johnny Andrean sebagai penata rambut dan penyalon kondang. Tapi bukan berarti itu halangan baginya untuk menekuni bisnis lain yang sangat jauh berbeda dari tata rambut: bisnis roti bermerek Breadtalk.

Johnny rupanya yakin, gerai Breadtalk-nya itu juga bakal sesukses salon-salonnya. Itu lantaran di Singapura roti bermerek ini sangat populer sehingga orang rela antre berlama-lama untuk bisa membelinya.

Makanya ia betul-betul serius ketika menyiapkan gerai yang merupakan waralaba dari Singapura ini. Tanpa sungkan Johnny pergi belajar mengolah roti ke Kota Singa selama beberapa bulan, sebelum akhir bulan Maret 2003 gerai Breadtalk itu resmi muncul di sini, di Mal Kepala Gading, Jakarta.

Penciuman bisnis pria kelahiran Pontianak 45 tahun silam ini sungguh tajam. Begitu gerai pertama Breadtalk dibuka, sekitar 2000-an orang menyerbu saban hari. Saking ramainya, sampai-sampai Breadtalk menjatah 10 roti untuk tiap pembeli. Kini, dua tahun berdiri, sulur Breadtalk mulai melebar hingga 14 cabang. Kendati mulai banyak pesaing, pembeli Breadtalk tak pernah surut. Kisarannya 1000-1500 pembeli yang datang.

Johnny sekarang tidak hanya mahir menata rambut, tapi juga pintar membuat roti. Nah, bagi para pelanggan salon Johnny Andrean, jangan buru-buru kecewa, karena pria lulusan Vidal Sassoon Academy London ini suatu ketika pernah berjanji akan tetap menjalankan salonnya seperti biasa. "Lagi pula dua-duanya sudah dikelola profesional," kata Johnny waktu itu.

Mereka boleh dibilang jadi de-dengkot pemegang franchise kelas dunia. Dan sekarang belum ada dedengkot pemegang jaringan waralaba asli Indonesia. Siapa tahu, Anda nantinya yang memegang gelar itu.

Sumber: Tabloid Kontan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar