Sabtu, 23 Oktober 2010

HATI YANG GEMBIRA adalah OBAT

By: Krisetiawati Puspitasari
obat
 mujarab Spiritualitas seseorang sangat memengaruhi kesehatan. Maka, hati gembira adalah obat mujarab.

Dalam masalah kesehatan, sekarang ini terjadi paradoks. Zaman modern, ilmu kedokteran makin berkembang pesat. Namun, usia manusia justru semakin pendek. Mengapa? Karena gaya hidup manusia modern semakin jauh dari sehat. Menurut dr. Handrawan Nadesul (58), kebanyakan penyakit yang ada di dunia sekarang ini, termasuk Indonesia, adalah akibat gaya hidup. “ Gaya hidup kurang bergerak, memilih makanan yang enak saja, stres, dan kecenderungan memilih pola makan tidak sehat. Jajan sembarangan atau pilih makanan orang Barat,” jelasnya pada Rumintar Silitonga dari Bahana.

Gangguan Metabolisme
Orang modern, suka yang praktis. Maka, dipilihlah makanan instan dan siap saji. Padahal, makanan-makanan itu cenderung tidak sehat. Banyak mengandung gula dan tepung. “Konsumsi gula dan tepung yang berlebihan, misalnya akan memicu metabolisme untuk bekerja lebih keras lewat peningkatan produksi insulin. Akhirnya, terjadi kelelahan,” kata dr. Andry Hartono, Sp.GK (62) pada Krisetiawati Puspitasari dari Majalah Bahana.

Kelelahan tersebut dapat mengganggu metabolisme yang dapat mengakibatkan sindrom metabolik. “Biasanya diawali kegemukan dengan perut buncit, kenaikan kadar trigliserida serta kolesterol, dan gangguan toleransi terhadap gula (kadar gula darah puasa >110 sampai 126 mg%). Sekitar, 10 tahun kemudian, sebagian pasien sindrom metabolik akan menjadi pasien diabetes. Ditandai oleh kenaikan kadar gula darah puasa >126 mg% dan kenaikan tekanan darah (hipertensi). Kemudian, terjadi gangguan kesehatan pembuluh darah dan peningkatan kekentalan darah yang bisa menimbulkan penyakit serius seperti stroke dan serangan jantung koroner,” jelas dokter di klinik Gizi dan medical check up RS Panti Rapih, Yogyakarta itu.

Sekarang ini gangguan metabolisme cenderung terjadi lebih dini. Diabetes Melitus tipe II yang harusnya terjadi di usia 60-an kini banyak menyerang orang di usia 30-an karena berubahnya pola makan, kurangnya aktivitas dan stres yang berlebihan. Bahkan, tambah Andry, anak muda di perkotaan banyak yang mengalami kelebihan gizi pada awal usia 20-an. Mereka banyak mengonsumsi junk food (makanan yang kaya gula, tepung dan lemak jenuh tetapi kurang mengandung serat, vitamin dan mineral)

Mengatur Pola Makan
Kejadian itu tentu tidak akan terjadi di zaman nenek moyang kita dulu. Karena, pola makan mereka sangat sehat. Mereka banyak mengkonsumsi sayur-sayuran, umbi-umbian dan biji-bijian. Cara pengolahannya pun bukan digoreng dengan banyak minyak. Melainkan dengan direbus, dikukus atau ditumis. Maka baik Hendrawan maupun Andry, menyarankan kita untuk kembali ke menu nenek moyang. “Orang-orang di Jepang atau negara-negara lain yang penduduknya berumur panjang, itu karena pola makan mereka kembali ke menu nenek moyang,” tegas Hendrawan.

“Sampai sekarang, orang-orang Korea masih memegang kultur tradisionalnya. Sangat berbeda dengan kita. Jangankan pindah negara, baru pindah kota saja pola makannya sudah berubah,” tandas Andry.

Mulai usia 35-45, orang rentan terkena gangguan metabolik. Orang dengan kondisi gizi yang sudah berlebihan, seperti pekerja kelas menengah ke atas diperkotaan, sangat disarankan untuk mengatur pola makannya. Yaitu banyak mengkonsumsi sayuran, buah, sereal atau bijian, kacang-kacangan dan protein rendah lemak seperti ikan. Bahkan, kalau perlu menjadi penganut vegetarian sekalipun tidak usah vegetarian murni. “Seharusnya kita kembali ke semi vegitarian dengan mengonsumsi telur, susu atau ikan sebagai sumber makanan hewani. Sumber protein lainnya harus didominasi dengan protein nabati seperti kacang-kacangan.”

Trick Makan Sehat
Mengubah pola makan memang tidak mudah. Karena ini sudah terbentuk selama bertahun-tahun hingga tak sadar akhirnya menjadi “budaya”. Untuk itu perlu sebuah proses. Andry menyarankan, jika memang belum bisa menjadi vegetarian baik yang pure maupun semi, setidaknya ubah pola makan dengan memperbanyak sayur dan buah-buahan. “Dengan perbandingan komposisi 5,3,2,1, yaitu 5 porsi sayuran plus buah, 3 porsi karbohidrat, 2 porsi protein dan 1 porsi minyak/minyak jahat,” sarannya. Untuk mengetahui ukuran porsi atau takaran saji, pembaca dapat menanyakannya kepada ahli gizi.

Kalau sesekali ingin “makan mewah” bisa saja. “Jika ingin makan enak, makan dulu sayuran atau minum blender buah yang berserat. Setelah itu, baru santap makanan yang tak sehat itu. Ibaratnya, sudah ditamengi dulu oleh sayuran. Sayuran akan menghalangi penyerapan lemak karena kotoran kita cepat keluar. Jika tidak bisa menghindari makanan enak, makanlah sesuatu yang bisa mencegah dampak makanan yang merugikan itu,” saran Andry.
Atau kalau pun harus menjamu relasi kantor, kita bisa pilih rumah makan yang menyajikan sayur dan buah. Misal, di restoran chinese, kita pilih cap cay atau cah sayur. Kalau di restoran masakan Eropa pilih salad. Kesibukan, kata Andry, tidak boleh jadi alasan untuk “mangkir” dari pola makan sehat. “Karena toh, waktu saya tinggal di luar negeri, bisa kok menyiapkan makan sehat dengan praktis. Saya makan sandwich whole wheat (roti gandum) yang berisi ikan dan sayuran. Kenyang kok, murah lagi,” tutur Andry yang juga penulis dan penerjemah buku-buku kesehatan itu.

Kurang Bergerak
Selain karena pola makan, melambatnya metabolisme itu juga sangat dipengaruhi oleh pola aktivitas. Orang modern, sebut Handrawan, cenderung kurang tidak bergerak. Mereka dimanjakan oleh berbagai kemudahan dan fasilitas. Sejak kecil, anak-anak dibiasakan nonton TV atau main game di depan komputer. Bukan bermain benteng, atau lari-larian dengn temannya. Adanya pembantu alias asisten rumah tangga yang siap membereskan segala urusan di rumah juga makin membuat orang modern jarang bergerak.

“Semakin terpelajar seseorang, justru semakin kurang bergerak. Karena pekerjaannya hanya duduk di di kantor. Sehingga mereka harus menyisihkan waktu untuk fitness yang biayanya jutaan. Dia buang waktu untuk olah raga, itu kan sangat tidak praktis. Yang praktis itu, kalau sebelum berangkat kerja melakukan sendiri semua pekerjaan seperti mencuci, memasak, menyemir sepatu, dll sendiri. Itu sebenarnya pekerjaan alamiah tetapi sekaligus aktivitas gerak juga,” kata Hendrawan. Karena itu, lanjut Hendrawan, awal tahun 2008, ada him¬bauan pada masyarakat dunia supaya mengubah gaya hidup.

Gaya hidup yang seperti apa? “Kembali ke gaya hidup seperti nenek moyang dulu. Banyak bergerak, sebisa mungkin melakukan pekerjaan rumah sendiri. Kembali ke makanan nenek moyang. Tidak usah pilih makanan ala orang barat,” saran Hendrawan. yang juga jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta itu

Kurangnya Pendidikan
Sebetulnya, kata Hendrawan, hidup sehat itu murah dan mudah. Intinya, harus niat melakukan pola hidup sehat. Sayangnya, kebanyakan orang tidak tahu bagaimana caranya. “Sebagian masyarakat Indonesia gagal menjadi sehat karena pendidikan yang keliru. Sekolah tidak mengajarkan pola hidup sehat. Buktinya sampai sekarang anak sekolah banyak jajan sembarangan. Di depan sekolah banyak yang jualan sirup dan jajanan lain yang mengandung formalin dan bisa menyebabkan kanker, “ tutur Hendrawan yang juga penulis 74 buku kesehatan itu prihatin.

Merasa prihatin dengan kondisi ini, maka Hendrawan tergerak untuk mengedukasi masyarakat supaya cerdas untuk hidup sehat. Caranya? Melalui buku dan tulisannya di rubrik-rubrik kesehatan di berbagai majalah nasional. “Buku-buku saya sudah masuk ke desa-desa,” kata Hendrawan senang.

Tak Dapat Dipisahkan
Ya, selama ini kesehatan tubuh memang cenderung kurang diperhatikan. Fokus kita lebih pada kesehatan jiwa. Padahal, sejatinya kesehatan jasmani dan rohani tidak bisa dipisahkan. “Jiwa dan badan tidak bisa dipisah. Satu kesatuan. Jadi kalau ada masalah di badan pasti ada masalah jiwa dan sebaliknya,” kata Hendrawan. Kendati demikian, menurut Pdt. Wihelminus Latumahina (53), yang utama adalah rohani. Ia lalu menyitir Kel 23:25, “Tetapi kamu harus beribadah kepada Tuhan, Allahmu; maka Ia akan memberkati roti makananmu dan air minumanmu dan Aku akan menjauhkan penyakit dari tengah-tengahmu.”

Bukan berarti kesehatan jasmani lantas dilupakan. “Sebab kalau jasmani kita sudah lelah bagaimana kita bisa berdoa? Karena itulah olah raga sangat diperlukan. Alkitab mengatakan latihan badani terbatas gunanya (1 Tim 4:8) tetapi itu bukan berarti tidak perlu. Perlu ada keseimbangan antara rohani dan jasmani. Tetapi yang lebih prioritas tentu rohani,” jelas gembala sidang GBI Bethesda, Sarua, Ciputat itu pada Robby Repi dari Bahana.

Pentingnya Spiritualitas
Penelitian medis pun membuktikan, kondisi spiritualitas sangat mempengaruhi kesehatan. dr, Andry dalam bukunya Sembuh Karena Iman, Harapan dan Kasih, Penerbit Kanisius, Yogyakarta mengutip beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, diantaranya Harold Koenig, MD di Duke University. Dari sana terbukti, mereka yang secara teratur berdoa, mendalami Kitab Suci dan rutin beribadah memiliki tekanan darah lebih rendah, angka depresi lebih kecil dan kekebalan tubuh lebih baik. Mereka juga jarang dirawat di rumah sakit.

“Jika spiritualitas kita tinggi, suasana hati tenang dan rileks yang aktif adalah hormon ensefalin dan endorfin yang menenangkan tubuh. Persis seperti morfin, tetapi yang ini alami karena diproduksi tubuh. Hormon itu akan menimbulkan perasaan damai, sukacita, bisa mengendalikan diri,dsb.” terang dokter pernah mengalami insomnia itu.

Sebaliknya jika stres, lanjut Andry, hipotalamus di otak akan memicu hipofise menghasilkan hormon untuk menstimulasi hormon adrenal yang memproduksi adrenalin dan kortisol. Hormon itu menyebabkan jantung berdebar, tekanan darah dan gula naik. “Dalam keadaan tertentu, itu memang menguntungkan. Tetapi, itu tidak boleh terus menerus tinggi karena akan membahayakan tubuh,” jelasnya.

Ia lalu mengambil contoh bunda Theresa. Secara medis, beliau menderita banyak penyakit, makan tak terarur, kerja keras dan selalu berhubungan dengan orang-orang berpenyakit menular. Namun, toh usianya mencapai 87 tahun. “Itu karena ia punya spiritualitas tinggi. Dia selalu berdoa dalam hening selama satu jam sebelum bekerja. Hatinya penuh suka cita, semangat, damai dan kasih. Itu akan memicu tubuh untuk memproduksi imunoglobulin A (IgA). Itu antibodi pertama yang mencegah supaya penyakit tidak terjangkit di tubuh kita,” paparnya.

Kesehatan Menopang Pelayanan
Tubuh kita adalah anugerah. Kita bertanggung jawab untuk menjaganya. “Selama kita masih fit dan kuat, kita harus pakai tubuh ini untuk memuliakan nama Tuhan. Pengkotbah 12:1, mengingatkan, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kau katakan: ”Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya.” Jangan badan sudah stroke, mulut mencong sana-sini baru datang mau jadi anggota koor. Atau diabetes, susah jalan, baru datang ke pendeta mau dikirim untuk menginjil,” tegas Pdt. Wihelminus yang biasa dipanggil Pdt. Emos itu.

Emos pun merasakan, kesehatan tubuh amat menopang pelayanannya. “Kalau tubuh tidak fit, mau duduk saja untuk membaca Alkitab dan berdoa sulit. Kalau mau berdoa, tubuh harus fit. Bila tidak fit, duduk 5 menit, kaki sudah kram,” kata pendeta penggemar olah raga bulu tangkis itu.

Sebenarnya, lanjut Pdt. Emos, hidup ini gampang saja jika kita ikut aturan Tuhan. Yakobus menulis, ”Hendaklah kamu berdoa, bertobatlah dahulu supaya penyakitmu disembuh¬kan.” Jadi, penurutan terhadap firman sangat berkaitan dengan kesehatan kita. Itu terkandung dalam iman,” terang ketua umum Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia DPD Banten itu. Jadi betul kan, sehat itu murah dan mudah? Ayo, segera lakukan.

Sumber: Majalah Bahana, September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar