Sepanjang sejarah Israel di Perjanjian Lama, dapatlah dikatakan bahwa pemerintahan Raja Daud adalah pemerintahan yang paling kuat. Israel mengalami puncak kejayaannya ketika berada di bawah kepemimpinannya. Sering kali kita dapati pernyataan "seperti Daud" atau "tidak seperti Daud" dalam catatan raja-raja sesudah Daud. Kunci utama kekuatan kepemimpinan Daud adalah sikap takut akan Tuhan yang dimilikinya, sehingga kepemimpinannya selalu menjadi acuan bagi raja-raja sesudahnya.
Sikap takut dan taat akan Tuhan sangatlah memengaruhi gaya kepemimpinan Daud, sehingga kepemimpinan Daud sangatlah berbeda dari pendahulunya, Raja Saul. Saul adalah seorang pemimpin yang ingin tampil sendiri, sedangkan Daud adalah seorang pemimpin yang menghargai orang lain dan membiarkan orang lain muncul dan berperan, tanpa pernah merasa takut tersaingi. Hal ini justru membuat kepemimpinan Daud semakin melebihi kepemimpinan Saul, karena Daud membiarkan orang-orang di sekelilingnya berperan dengan maksimal.
Kepemimpinan Saul
Ketika Saul memerintah, dia adalah pemimpin yang ingin menonjolkan dirinya sendiri. Dia merasa tidak aman ketika ada orang lain yang tampil melebihi dirinya dan dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ketika Daud tampil lebih cemerlang dan mendapatkan sambutan, dikatakan: "dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: 'Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.' Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: 'Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.' Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud" (1 Samuel 18:7-9), dan setelah itu Saul berusaha membinasakan Daud, sekalipun Daud adalah menantunya sendiri.
Bagi Saul, tahtanya hanyalah diperuntukkan bagi keturunannya, bukan orang lain. Kata Saul kepada Yonatan, "Sebab sesungguhnya selama anak Isai itu hidup di muka bumi, engkau dan kerajaanmu tidak akan kokoh. Dan sekarang suruhlah orang memanggil dan membawa dia kepadaku, sebab ia harus mati" (1 Samuel 20:31). Segala sesuatu dilakukan dan diukur Saul untuk kepentingannya sendiri, hal inilah yang juga mengakibatkannya mengabaikan perintah Tuhan dan tidak menghargai tabut Allah, seperti yang pernah disinggung oleh Daud, "Dan baiklah kita memindahkan tabut Allah kita ke tempat kita, sebab pada zaman Saul kita tidak mengindahkannya." (1 Tawarikh 13:3)
Kepemimpinan Daud
Berbeda dengan Saul, Daud justru menghargai dan membiarkan orang-orang di sekelilingnya memiliki peranan yang cukup menonjol. Daud tidak pernah merasa terancam dengan hadirnya orang-orang berpotensi di bawah kepemimpinannya.
Sebagai pengganti Nabi Samuel, Nabi Natan muncul dan menegur Daud akan kejahatan yang telah dilakukannya, dan Daud tetap menghargai Nabi Natan tanpa pernah berusaha menangkapnya. Banyak juga bermunculan orang-orang yang cakap di medan pertempuran hingga mereka disebut sebagai pahlawan-pahlawan Daud (2 Samuel 23:8-39). Yoab sebagai panglima besarnya, memiliki keberanian untuk menegur Daud dan Daud pun mendengarkan masukannya (2 Samuel 19:1-8). Dan Daud adalah orang yang berani memberi kesempatan kepada orang lain (1 Tawarikh 12:17-22) sehingga semakin kuatlah pasukan Daud.
Memberdayakan Orang yang Dipimpin
Jika kita ingin memiliki kepemimpinan yang kuat, maka sudah seharusnya setiap pemimpin memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya. Jangan pernah takut melihat potensi dan mengembangkan potensi orang-orang yang kita pimpin, sekalipun orang yang kita pimpin memiliki potensi yang lebih besar daripada yang kita miliki. Justru dengan mengembangkannya maka kita akan menghasilkan banyak pemimpin sehingga misi yang ada bisa segera terpenuhi.
Sudah seharusnya kebesaran seorang pemimpin diukur dari berapa banyak pemimpin yang dihasilkannya, bukan sekadar berapa banyak pengikutnya. Seperti Tuhan Yesus yang telah "menolak" 5.000 orang yang mengikuti-Nya dan lebih memprioritaskan waktu-Nya untuk memimpin 12 orang murid. Dengan memberdayakan ke-12 murid-Nya secara maksimal, maka lahirlah dua belas rasul yang menggoncangkan dunia.
Sebagai seorang pemimpin yang melayani, Tuhan memberikan karakteristik-Nya dalam melayani orang lain atau orang yang kita pimpin, yang tertuang di Lukas 22:27: "Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan." Dari ayat tersebut kita dapatkan beberapa prinsip bagaimana seseorang pemimpin yang melayani dapat memberdayakan orang yang dipimpin.
Yang pertama, kita haruslah menghargai orang yang kita pimpin. Dikatakan bahwa orang yang duduk makan "lebih besar" daripada yang melayani. Sering kali pemimpin tidak bisa memberdayakan karena dia merasa bahwa posisinya lebih tinggi sehingga lebih menuntut untuk dihargai daripada menghargai. Syarat pertama untuk pemimpin dapat memberdayakan orang di bawahnya adalah menghargainya: menghargai potensi orang yang dipimpin, menghargai bahwa dia adalah calon pemimpin masa depan, menghargai bahwa dia adalah orang yang dipercayakan Tuhan untuk kita pimpin untuk memaksimalkan potensinya.
Yang kedua, tentunya sikap melayani seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Untuk memberdayakan orang lain, maka kita harus berfokus untuk melayani orang tersebut. Kita melayaninya dengan cara mengenalnya setiap potensi yang dia miliki sebaik mungkin, kemudian berikan dia mimpi, dorongan, dan kesempatan untuk maju dan berkembang. Layani sampai dia mencapai potensinya yang maksimal, hingga dia mengalami kepuasan karena pelayanan yang kita berikan.
Selamat melayani dan memberdayakan orang-orang yang kita pimpin.
Published in e-Leadership, 10 February 2010, Volume 2010, No. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar