Selasa, 19 Juli 2011

Pelayanan Jago Kandang

Sejauh menyangkut wawasan keilmuan, pelayanan dipersiapkan dengan pendidikan yg matang. Tanggungjawab pelayanan tidak diserahkan kepada orang tanpa selektifitas. Dibutuhkan kompetensi akademis, karakter dan pengalaman lapangan. Hanya mereka yg terpanggil saja yg dapat terlibat didalamnya. 
Namun benarkah dedikasi para pelayanan Tuhan memiliki identitas dan kualifikasi tanggungjawab yg sedemikian nyata menurut kebutuhan umat?
Tuhan Yesus dengan terus terang menyebutkan predikat para pelayan Tuhan sebagai mereka yg seharusnya berdiri pada barisan paling depan dalam teladan perbuatan belas kasihan tetapi justru mereka mencari dalih kesibukan ritual dan peraturan agama sebagai alasan pembenar sikap apatisnya terhadap sesamanya.


Sikap kritis Tuhan Yesus yg bernada satire (sindiran) bermaksud meletakkan kembali dasar pengabdian pelayanan kita yg relevan dengan tuntutan pelayanan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan pribadi atau profit oriented.


Allah memanggil kita bukan menjadi Pelayan JAGO KANDANG, yg memukau secara hebat diatas mimbar dengan sederet gelar akademis namun tidak bernyali ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari orang-orang yg kita layani.


Bagaimanakah mengkondisikan pelayanan semakin lugas dan efektif sehingga memberkati banyak orang?
I. Letakkan Pelayanan sebagai DEDIKASI lebih dari PROFESI


Menyandang predikat sebagai "Ahli Torat, orang Lewi, Imam" menjelaskan posisi, keahlian dan tanggungjawab kepemimpinan rohani namun realitanya tampilan hidupnya sangat jauh dari kebenaran yg diajarkannya sendiri. 


Terhadap pertanyaan ahli Taurat tersebut Tuhan Yesus tidak segera memberi jawaban langsung tentang: “Siapakah sesamaku manusia?” Tetapi memberi perumpamaan tentang seorang laki-laki Yahudi dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho yang dirampok, dianiaya dan dibiarkan tergeletak di jalan. 
Ketika seorang Imam lewat di jalan itu, dia hanya melihat dan tidak memberi pertolongan. Ketika seorang Lewi lewat, dia juga hanya melihat orang malang tersebut dan tidak berbuat sesuatu. 
Tak lama kemudian datanglah seorang Samaria yang lewat di jalan itu. Ketika dia melihat pria Yahudi yang malang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Karena itu dia segera membalut luka-luka pria Yahudi tersebut. Dia  memberi obat dengan minyak, kemudian orang Yahudi tersebut dibawa ke tempat penginapan agar pria yang malang tersebut dapat memperoleh pengobatan dan perawatan yang lebih baik. Sebelum pergi melanjutkan perjalanannya, orang Samaria tersebut menyerahkan uang 2 dinar kepada pemilik penginapan sambil berkata: “Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk. 10:35). 


Paradok yg digambarkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan bukanlah fantasi yg dibesar-besarkan Tuhan Yesus namun diambil dari kehidupan umat secara nyata.
Sebagai ganti pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?” yang telah diajukan oleh ahli Taurat, Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu adalah sesama  manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). 
Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut kemudian dijawab oleh ahli Taurat, yaitu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Luk. 10:37). 
Perhatikanlah bahwa ahli Taurat tersebut tidak segera memberi jawab yang jelas tentang SUBYEK yg ditanyakan, tetapi dia hanya menyebut “predikat” atau jenis perbuatan atau tindakannya yang berbelas kasihan. 
Sebenarnya pertanyaan Tuhan Yesus juga dapat dijawab oleh ahli Taurat, dengan jawaban: “Orang Samaria, karena dia telah menunjukkan belas kasihan  kepada orang Yahudi yang malang tersebut”. 


Alasan Ahli Taurat tersebut enggan menyebut nama orang “Samaria”:


a. Alasan teologis:
Bangsa Yahudi menganggap diri lebih benar dari bangsa lain. Orang Samaria yg disebutkan Tuhan Yesus bukanlah umat pilihan Allah tetapi golongan orang kafir,  bukanlah umat pilihan Tuhan yang hidup benar.  

b.Alasan Emosional:
Mereka (Imam dan orang Lewi) merasa terhakimi oleh sikapnya sendiri yg seharusnya mampu memperlihatkan kasih Allah justru gagal untuk menjadi sesama bagi pria Yahudi yang sebenarnya satu etnis dan satu agama. 


c.Alasan Yuridis:
Mereka berdua sebagai pempimpin umat ternyata lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Mereka enggan memberi pertolongan karena mereka tidak ingin menjadi najis, mungkin beranggapan bahwa orang Yahudi yang malang itu telah mati (Bilangan 19:11-13). 


Sebaliknya orang Samaria yang sebenarnya sedang bermusuhan dengan orang Yahudi lebih tergerak oleh belas-kasihan, segera bertindak menolong serta menyelamatkan nyawanya. Orang Samaria tersebut mengabaikan masalah perbedaan etnis, latar-belakang agama yang berbeda, dan situasi permusuhan yang ratusan tahun telah terbentuk dengan orang-orang Yahudi. Dia sekarang hanya tahu bahwa di depan matanya terdapat seorang pria yang sedang mengalami penderitaan dan membutuhkan pertolongan segera.  Dia mengambil keputusan untuk menghentikan perjalanannya dan membawa orang Yahudi tersebut ke tempat perawatan. 


Jadi lingkup kepercayaan orang Samaria tersebut ternyata lebih luas dan lebih konkrit dari pada spiritualitas Imam dan orang Lewi. Sebab spiritualitas Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan Tuhan Yesus  tersebut hanya mampu tampil dalam kegiatan ritual ibadah, tetapi mereka gagal untuk mengaplikasikan kasih Allah dalam kehidupan nyata.
II. Letakkan Pelayanan sebagai Kehormatan lebih dari Kewajiban (ayat.25,29)


Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
Betapa misikin dan kering kehidupan yg selalu dibatasi oleh aturan "boleh atau tidak boleh" ; melakukan "hak atau kewajiban". 
Menikmati hidup untuk peraturan bukan menjadikan peraturan sebagai instrumen kehidupan menjadikan seseorang hanya mencari ruang untuk mendapatkan kebebasan yg sesungguhnya.
Konsep yg sudah mengakar adalah memperoleh kehormatan dari pelayanan, mendapat perlukuan istimewa dari orang lain. 


Tuhan Yesus mengubah paradigma pelayanan kita yg legalis dan dogmatis namun tidak relevan dengan kinerja iman yg nyata. Saat kita membaca dan  merenungkan kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sering timbul perasaan tidak simpati kepada tindakan tokoh Imam dan orang Lewi, dan pada pihak lain timbul sikap simpati kita kepada tokoh orang Samaria yang baik hati itu. Padahal dalam praktek hidup sehari-hari termasuk dalam kehidupan jemaat, kita justru sering mempraktekkan tindakan dari tokoh Imam dan orang Lewi. 
Bukankah pola spiritualitas kita cenderung menganut “ideologi” ahli Taurat yang bertanya kepada Tuhan Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” Membenarkan diri dengan anggapan telah melakukan kewajiban, menegakkan aturan dan tuntutan agama.


Benarkan para imam, orang Lewi, dan ahli torat sesunguhnya adalah mereka yg taat menegakkan kebenaran?


Dalam pertanyaan itu sebenarnya mengandung tindakan yang mengklasifikasikan manusia, yaitu siapakah yang termasuk sesamaku, dan siapakah yang tidak termasuk sebagai sesamaku. Bagi orang-orang Kristen, arti “sesamaku” sering dimengerti sebagai setiap orang Kristen khususnya mereka yang satu gereja atau satu denominasi dengan kita. 
Jadi arti “sesama” di sini dipakai untuk menunjuk kepada orang-orang yang berada dalam lingkup agama, kepercayaan, dan keyakinan, atau etnis yang sama. Sedang mereka yang tidak seagama, seiman, satu kepercayaan dan keyakinan bahkan mereka yang berbeda suku dan etnis tidak dianggap sebagai sesama. Akibat dari pemikiran ini adalah munculnya sikap kompartementalisme terhadap sesama sehingga kita membuat berbagai kelompok sesama dalam beberapa “laci” yang semakin kecil. Klasifikasi sesama dibagi-bagi dalam kelompok kekayaan, kedudukan, etnis, ras, tingkat pendidikan, gender, aliran, dan sebagainya. Selain itu sikap kompartementalisme juga melahirkan “anak” yang bernama primordialisme. Sikap primordialisme, merupakan suatu sikap yang hanya mengagung-agungkan agama dan kepercayaan/keyakinan kita sendiri, menonjolkan superioritas aliran dan denominasi sendiri, serta dukungan yang membabi-buta terhadap suku, etnis dan kelompok kita sendiri. Motto paham “primordialisme” adalah: “Right or wrong is …… (my religion/my tribe/my nation/my country/group)”. Apapun yang dilakukan oleh “lingkaran diri” kita tersebut selalu benar.


Jadi pertanyaan ahli Taurat yang berkata: “Siapakah sesamaku manusia” merupakan benih-benih dari sikap yang primordialisme dan paham eksklusivisme yang hanya memilah-milah manusia berdasarkan kriteria agama, kepercayaan, keyakinan, suku, etnis atau ekonomi, politis dan kelompok. 
Lukas 10:30-37 Tuhan Yesus menunjukkan bahwa tokoh orang Samaria yang sebenarnya telah menjadi musuh bagi orang Yahudi selama ratusan tahun justru  berhasil menjadi sesama bagi musuhnya. Orang Samaria tersebut tidak terjebak dalam sikap eksklusif dan primordialistik. Kemurahan hatinya mengalir jernih menembus batas-batas kesukuan, etnis dan agama serta kondisi  permusuhan yang kronis. Yang sangat mengherankan justru sikap dari tokoh Imam dan orang Lewi dalam kasus ini. Walaupun mereka satu etnis dan satu agama dengan pria Yahudi yang malang itu, ternyata mereka sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan dan tidak melakukan tindakan apapun untuk memberi pertolongan. Sebab mungkin bagi tokoh Imam dan orang Lewi makna dari sesamanya adalah hanya orang-orang yang “satu level” atau “satu status” dan “satu kedudukan” dengan diri mereka. Sebaliknya orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan sosial yang sama walaupun satu etnis dan satu agama dengan mereka, oleh mereka tetap dianggap bukan sebagai sesama. Pengklasifikasian terhadap sesama akan mendorong kita untuk semakin jauh membagi-bagi sesama dalam kelompok yang lebih kecil sampai kita tidak  lagi memiliki seorang sesama-pun yang menjadi sahabat kita.





1 komentar:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.org

    BalasHapus