Secara sadar atau tidak, banyak gereja sering mengajarkan teologia persembahan yg subyektif., dimana Tuhan dijadikan alasan untuk memberikan persembahan guna mendapatkan lebih banyak lagi keuntungan bagi manusia. Kita diajarkan bersemangat dan berani untuk memberi persembahan secara kuantitatif dan mengesampingkan yg kualitatif.
- Barangsiapa memberi maka ia akan diberi lebih banyak lagi.
- Barang siapa membangun rumah Tuhan maka Tuhan akan membangun rumahnya.
- Barangsiapa mengulurkan tangannya bagi pekerjaan Tuhan maka Tuhan akan membuka tanganNya untuk memberkati pekerjaan tangan kita.
Konstruksi kata-kata ini benar dan berdasar, namun jika dipahami secara komprehensif, maka pernyataan tersebut adalah KALIMAT yg bersayap! karena menyatakan persembahan yg berbasis PSIKIS dan MATERIAL, Persembahan yg berorientasi manusia, persembahan yg dijadikan sebagai SARANA (alat) bukan TUJUAN.
Memberi bukan KARENA sudah diberi oleh Tuhan namun memberi karena SUPAYA diberi.
Dengan demikian melalui ritual persembahan, sikap kita mengungkapkan motif yg sebenarnya dari persembahan yg kita bawa. Hal ini akan melekat dalam tatanan mental kita sendiri yg terdorong memberi secara kuantitatif dengan tujuan supaya dapat pengembalian yg jauh lebih besar lagi.
Dengan demikian melalui ritual persembahan, sikap kita mengungkapkan motif yg sebenarnya dari persembahan yg kita bawa. Hal ini akan melekat dalam tatanan mental kita sendiri yg terdorong memberi secara kuantitatif dengan tujuan supaya dapat pengembalian yg jauh lebih besar lagi.
Apakah pengajaran ini dapat kita jadikan sebagai sebagai acuan pembenaran sikap kita? atau bagaimana sikap kita yg seharusnya dalam memberi persembahan kepada Tuhan?
Meninjau etimologi persembahan
Memberikan "Persembahan" sangat berbeda dengan memberikan "Kolekte"
Kata persembahan berakar dari kata "sembah" atau penyembahan: menundukkan diri sambil menengadahkan tangan untuk memberikan persembahan hidup yg total dan tanpa syarat. Penyembahan tidak berangkat dari kepentingan kita tetapi karena natur kita yg sudah matic (tanpa kopling) sebagai makhluk penyembah Allah. tanpa ada dorongan eksternal sekalipun.
Berbeda dengan "kolekte" yg berasal dari kata "collect" yg berarti mengumpulkan atau menggalang dana untuk kegiatan keagamaan atau sosial yg memang didorong untuk kepentingan atau proyek tertentu.
Allah tidak menyimpan problem kepentingan dengan persembahan kita!
Karena Allah kita sangat mandiri!
Kita memberi atau tidak memberi sama sekali tidak mengurangi atau menambahi kualitas keAllahNya. kita sendirilah yg mempersoalkan persembahan kepada Allah.
Markus. 12:38-40
Persembahan orang kaya mewakili realita yg terjadi didalam gereja:
1. Persembahan kepada Tuhan dijadikan sebagai aksi panggung
Memformat tatacara persembahan dengan memasukkan uang ke dalam peti persembahan yg diletakkan didepan orang banyak sangat diminati oleh banyak orang kaya, bahkan mereka tidak segan secara reaktif memberi persembahan dalam jumlah besar.
Memberikan "Persembahan" sangat berbeda dengan memberikan "Kolekte"
Kata persembahan berakar dari kata "sembah" atau penyembahan: menundukkan diri sambil menengadahkan tangan untuk memberikan persembahan hidup yg total dan tanpa syarat. Penyembahan tidak berangkat dari kepentingan kita tetapi karena natur kita yg sudah matic (tanpa kopling) sebagai makhluk penyembah Allah. tanpa ada dorongan eksternal sekalipun.
Berbeda dengan "kolekte" yg berasal dari kata "collect" yg berarti mengumpulkan atau menggalang dana untuk kegiatan keagamaan atau sosial yg memang didorong untuk kepentingan atau proyek tertentu.
Allah tidak menyimpan problem kepentingan dengan persembahan kita!
Karena Allah kita sangat mandiri!
Kita memberi atau tidak memberi sama sekali tidak mengurangi atau menambahi kualitas keAllahNya. kita sendirilah yg mempersoalkan persembahan kepada Allah.
Markus. 12:38-40
Persembahan orang kaya mewakili realita yg terjadi didalam gereja:
Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.
Memformat tatacara persembahan dengan memasukkan uang ke dalam peti persembahan yg diletakkan didepan orang banyak sangat diminati oleh banyak orang kaya, bahkan mereka tidak segan secara reaktif memberi persembahan dalam jumlah besar.
Kenyataannya memang terjadi perbedaan yang mencolok hasil persembahan yang diserahkan dengan maju ke depan dibandingkan dengan persembahan yang diserahkan dengan cara konvensional ( memasukkan dikantung persembahan yg dijalankan)
Teknik ini diharapkan dapat menstimulan orang secara “psikologis” bersedia memberi, karena semua pandangan mata tertuju pada peti persembahan. Orang akan dianggap lebih saleh ( disebut salehudin), lebih diberkati (berkahuddin) ,merasa dihargai pengorbanannya (korbanudin) saat maju kedepan.
Sikap reaktif dalam persembahan ini identik dengan spiritualitas panggung, yg menjadikan persembahan sebagai ajang tontonan. Dengan demikian seseorang yang reaktif selalu mengukur pemberiannya berdasarkan sorotan penilaian orang lain.
Spiritualitas panggung sesungguhnya merendahkan Allah dan karyaNya sebagai publikasi murahan, dan pada saat yang sama berupaya merebut kemuliaan Allah untuk kepentingan diri sendiri. Itu sebabnya poularitas spiritualitas panggung adalah cerminan persembahan yg munafik (lemus, gombal atau hipokrit) jauh dari sikap kasih kepada Allah serta sesamanya.
Spiritualitas panggung sesungguhnya merendahkan Allah dan karyaNya sebagai publikasi murahan, dan pada saat yang sama berupaya merebut kemuliaan Allah untuk kepentingan diri sendiri. Itu sebabnya poularitas spiritualitas panggung adalah cerminan persembahan yg munafik (lemus, gombal atau hipokrit) jauh dari sikap kasih kepada Allah serta sesamanya.
Dalam praktek spiritualitas panggung, menggugah orang untuk tidak segan-segan mengeluarkan persembahan yang besar, dengan syarat seluruh persembahan mereka Dipubikasikan secara terbuka. Semakin besar media publikasinya, maka semakin besar pula jumlah dan aksi persembahan mereka. Apalagi diberi aplaus...........
Media panggung sering menjadi daya rangsang bagi mereka untuk melakukan kebaikan dan pemberian kasih secara demonstratif. Singkatnya mereka tidak memberi karena kasih yang lahir dari hati mereka, tetapi memanipulasi pemberian kasih untuk memperoleh pujian dan penghormatan.
Media panggung sering menjadi daya rangsang bagi mereka untuk melakukan kebaikan dan pemberian kasih secara demonstratif. Singkatnya mereka tidak memberi karena kasih yang lahir dari hati mereka, tetapi memanipulasi pemberian kasih untuk memperoleh pujian dan penghormatan.
2. Persembahan sebagai upaya untuk menyuap Tuhan
Orang kaya, ( Ahli Torat ,orang Farisi dan para imam) menganggap bahwa Allah dapat disuap oleh besarnya persembahan.
Orang kaya, ( Ahli Torat ,orang Farisi dan para imam) menganggap bahwa Allah dapat disuap oleh besarnya persembahan.
Persembahan yg dibawa kepada Allah mengungkapkan dua hal:
Padahal Allah dalam iman Kristen bukanlah Allah yang dapat dipengaruhi atau disuap oleh jumlahnya persembahan.
Yesaya 1:11, Allah berfirman: “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?... Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan, darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai”.
Orang-orang kafir pada zaman dahulu sebenarnya mampu memberi lebih. Mereka sudah terbiasa mempersembahkan kepada para dewanya lebih dari pada sekedar hewan. Sebab orang-orang kafir pada zaman dahulu tidak segan-segan untuk mempersembahkan anaknya laki-laki atau perempuan untuk menyenangkan hati para dewanya (Ulangan 18:10).
Teologia yg dikembangkan oleh pemimpin agama saat itu adalah:
Allah dapat dikendalikan oleh upaya manusia melalui persembahannya. Sehingga dengan motif ini kita menjadi tidak merasa perlu memperhatikan nilai kualitas persembahan. Sebab yang terpenting adalah manusia mampu mengatur kemauan Allah menurut ritual dan persembahan kita.
- Isi, harapan, keinginan dan tujuan yang menjadi dasar motivasi kita dalam memberi.
- Pengenalan kita tentang pribadi Allah.
Padahal Allah dalam iman Kristen bukanlah Allah yang dapat dipengaruhi atau disuap oleh jumlahnya persembahan.
Yesaya 1:11, Allah berfirman: “Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?... Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan, darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai”.
Orang-orang kafir pada zaman dahulu sebenarnya mampu memberi lebih. Mereka sudah terbiasa mempersembahkan kepada para dewanya lebih dari pada sekedar hewan. Sebab orang-orang kafir pada zaman dahulu tidak segan-segan untuk mempersembahkan anaknya laki-laki atau perempuan untuk menyenangkan hati para dewanya (Ulangan 18:10).
Teologia yg dikembangkan oleh pemimpin agama saat itu adalah:
Allah dapat dikendalikan oleh upaya manusia melalui persembahannya. Sehingga dengan motif ini kita menjadi tidak merasa perlu memperhatikan nilai kualitas persembahan. Sebab yang terpenting adalah manusia mampu mengatur kemauan Allah menurut ritual dan persembahan kita.
Markus 12:41
Tuhan memperhatikan dan menilai kualitas persembahan kita.
Apakah motif persembahan kita bersayap atau lugas? Penulis Injil Markus sengaja mengontraskan persembahan orang kaya yang memberikan uang dalam jumlah yang besar dengan persembahan seorang janda yang hanya memberi dalam jumlah yang sangat kecil. Terhadap persembahan janda tersebut,
Markus 12:43 Tuhan Yesus memberikan penilaian yang mengejutkan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan”
Markus 12:43 Tuhan Yesus memberikan penilaian yang mengejutkan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan”
Dasar teologi Tuhan Yesus adalah:
Markus 12:44. “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya”
Markus 12:44. “Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya”
Dari sudut nilai ekonomis persembahan janda tersebut sangat tidak berarti dibandingkan dengan persembahan dari para orang kaya. Tetapi dari sudut penilaian Allah, persembahan janda tersebut lebih besar dan bernilai.
Apa yg membuat persembahan janda miskin ini bernilai besar dimata Tuhan?
a. Memberi persembahan dengan melewati rintangan
Alkitab tidak mencatat secara spesifik nama janda miskin pemberi persembahan terbesar , karena publikasi itu dianggap bukan persoalan tidak penting untuk diperdebatkan. Walaupun persembahan janda miskin: tidak dianggap orang lain, dinilai rendah, tidak perlu dicatat dalam admnisitrasi gereja, tidak ada publikasi (memang tidak ada alasan untuk mencatatnya) tetapi Allah mencatat sebagai "persembahan yg sangat besar" bahkan IKON PERSEMBAHAN yg dimemori dalam hati Allah sendiri.
Persembahan besar yg tidak dicatat dan dipublikasikan digereja? wah bikin ribut aja gereja dianggap telah menyelewengkan kepercayaan, hamba uang, gereja tidak menghargai donasi jemaat dll.....siap mental deh jika kita lupa tidak mempublikasikan persembahan jemaat!!!
C. Memberi persembahan adalah memakai uang untuk Tuhan
Konsep persembahan sangat bergantung kepada konsep kita terhadap uang. Bagaimana cara kita menempatkan uang dalam hidup kita? Tuhan Yesus mengatakan,”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, adalah konsep kepemilikan.
Stewardship (penatalayan/ pengelola) lebih tepat dalam konteks memberikan persembahan. Kita ini bukanlah PEMILIK dari harata benda yg Tuhan percayakan tetapi sebagai PENGELOLA milik Tuhan.
Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan untuk uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang untuk Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Orang yang mencintai Tuhan, sangat mudah memberi persembahan. Si janda miskin ini mencintai Tuhan dan bukan mencintai uang sehingga ia memberi seluruh nafkah yang ada padanya
Kenyataan yg parah dalam narasi ini adalah: ahli-ahli Taurat, memakai simbol agama untuk mengelabui rumah janda-janda. Maksudnya begini, pada waktu suami dari para janda itu meninggal, mereka meminta bantuan ahli Taurat untuk mengurusi pembagian warisan sesuai peraturan firman Tuhan. Tetapi para ahli Taurat justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mengambil alih sebagian harta. Saking cinta uang sampai rumah janda pun di embat. Para ahli Taurat ini, berdasarkan perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas 16, disebut sebagai hamba uang. Mereka bukan saja tidak memberi persembahan, sebaliknya justru memakan persembahan.
D. Memberi persembahan adalah ekspresi iman
Sebelum memberi persembahan saja, si janda miskin sudah harus beriman untuk kebutuhan hidupnya. Mana ada orang yang dapat hidup dengan 1/128 upah harian. Sedangkan saat ini, dengan 1/3 upah harian, Rp. 9 ribu saja sudah dianggap orang dibawah garis kemiskinan. Namun ia terbukti masih melakukan aktivitas ibadah bahkan masih memberikan persembahan yg terbaik dari yg ia punya. Ia tidak malu dengan yg ia punya, janda miskin ini tidak ragu dengan yg ia bawa untuk dipersembahkannya.Kebulatan tekada untuk mempesembahkan adalah spirit jiwa yg harus dikobarkannya. Kita menyaksikan demontrasi iman wanita yg dianggap tak berharga, bersinar tak tertahankan menembus sampai cinta yg tiada batas. Iman itu berkobar dengan nyala api yg tak terpadamkan. Walaupun hari besok masih harus bergumul dengan sejumlah persolan ekonomi dan konsumsi hidupnya. Janda miskin tidak merasa kekurangan dengan kemiskinannya, karena ia tahu kepada siapa ia telah mempersembahkan hidup dan haratanya.
Prioritas pengajaran Tuhan Yesus tidak membicarakan seberapa besar persembahan kita, namun bagaimana cara kita mempersembahkannya kepadaNya.
Yang lebih mayor.......adalah Kualitas persembahan kita kepadaNya!
Jika cara kita benar maka persembahan pastilah berbanding lurus dengan kesanggupan kita untuk memberi. Jika cara kita salah maka hanya publikasi aksi panggung saja yg meramaikan gereja.
KIta tidak perlu ragu mengajarkan persembahan yg berbasiskan teologia yg benar, "memberi bukan supaya diberi namun memberi karena sudah diberi"
Justru memaksakan trend stimulan psikologis dalam memberikan persembahan adalah bentuk kekuatiran diri sendiri, seolah-olah Tuhan tidak mampu menopang kebutuhan pelayanan jika tidak kita bantu dengan banner ketuk pintu hati pemirsa atau setting persembahan sebagai aksi panggung!
Pastikan persembahan kita kepada Allah adalah penyembahan yg paling baik dan total dalam hidup kita! GBU
by Haris Subagiyo
Berapa besar sebenarnya persembahan janda miskin ini?
Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”. Berapakah besarnya 1 lepton atau peser jika dikurs ke dalam Rupiah? Berdasarkan Matius 20, upah kerja satu hari adalah 1 dinar. 1 dinar sama dengan 128 lepton. Jika diasumsikan upah kerja satu hari Rp. 30.000,- maka 1 lepton sama dengan Rp. 30.000 bagi 128 yang berarti sama dengan Rp. 234,- Dibulatkan, 1 Lepton/ Peser = Rp. 250,-. Berarti, si janda miskin memberi persembahan 2 Lepton, sama dengan Rp. 500,- Dengan tidak memberi persembahan saja si janda miskin sudah susah hidupnya. Ini malah memberi persembahan dan Markus mengatakan bahwa itu adalah seluruh yang ada padanya.
a. Memberi persembahan dengan melewati rintangan
Kata: "janda miskin", menunjukkan postur kehidupan sosial yg yg rawan, tanpa perlindungan bahkan masih membutuhan pertolongan. Namun kemiskinan material itu ternyata tidak menjadi penghalang (social barrier) untuk menyampaikan persembahan kepada Allah. Orang kaya memberi karena alasan kekayaannya namun orang miskin ini mempersembahkan dengan hidupnya, semuanya, yg terbaik dari yg ada padanya.
Menunjukkan pada fakta sikap orang percaya dalam memberi persembahan:
- Ada orang miskin yg memakai kemiskinan sebagai alasan untuk tidak memberi persembahan.
- Ada orang miskin tidak memberi persembahan, masih minta sumbangan dari gereja.
- Ada orang kaya tetapi tidak mau memberi persembahan.
- Ada orang kaya yang sudah tidak memberi persembahan masih minta proyek dari gereja.ini....sungguh terlaluuuuuuu.....
Alkitab tidak mencatat secara spesifik nama janda miskin pemberi persembahan terbesar , karena publikasi itu dianggap bukan persoalan tidak penting untuk diperdebatkan. Walaupun persembahan janda miskin: tidak dianggap orang lain, dinilai rendah, tidak perlu dicatat dalam admnisitrasi gereja, tidak ada publikasi (memang tidak ada alasan untuk mencatatnya) tetapi Allah mencatat sebagai "persembahan yg sangat besar" bahkan IKON PERSEMBAHAN yg dimemori dalam hati Allah sendiri.
Persembahan besar yg tidak dicatat dan dipublikasikan digereja? wah bikin ribut aja gereja dianggap telah menyelewengkan kepercayaan, hamba uang, gereja tidak menghargai donasi jemaat dll.....siap mental deh jika kita lupa tidak mempublikasikan persembahan jemaat!!!
C. Memberi persembahan adalah memakai uang untuk Tuhan
Konsep persembahan sangat bergantung kepada konsep kita terhadap uang. Bagaimana cara kita menempatkan uang dalam hidup kita? Tuhan Yesus mengatakan,”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, adalah konsep kepemilikan.
Stewardship (penatalayan/ pengelola) lebih tepat dalam konteks memberikan persembahan. Kita ini bukanlah PEMILIK dari harata benda yg Tuhan percayakan tetapi sebagai PENGELOLA milik Tuhan.
Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan untuk uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang untuk Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Orang yang mencintai Tuhan, sangat mudah memberi persembahan. Si janda miskin ini mencintai Tuhan dan bukan mencintai uang sehingga ia memberi seluruh nafkah yang ada padanya
Kenyataan yg parah dalam narasi ini adalah: ahli-ahli Taurat, memakai simbol agama untuk mengelabui rumah janda-janda. Maksudnya begini, pada waktu suami dari para janda itu meninggal, mereka meminta bantuan ahli Taurat untuk mengurusi pembagian warisan sesuai peraturan firman Tuhan. Tetapi para ahli Taurat justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mengambil alih sebagian harta. Saking cinta uang sampai rumah janda pun di embat. Para ahli Taurat ini, berdasarkan perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas 16, disebut sebagai hamba uang. Mereka bukan saja tidak memberi persembahan, sebaliknya justru memakan persembahan.
D. Memberi persembahan adalah ekspresi iman
Sebelum memberi persembahan saja, si janda miskin sudah harus beriman untuk kebutuhan hidupnya. Mana ada orang yang dapat hidup dengan 1/128 upah harian. Sedangkan saat ini, dengan 1/3 upah harian, Rp. 9 ribu saja sudah dianggap orang dibawah garis kemiskinan. Namun ia terbukti masih melakukan aktivitas ibadah bahkan masih memberikan persembahan yg terbaik dari yg ia punya. Ia tidak malu dengan yg ia punya, janda miskin ini tidak ragu dengan yg ia bawa untuk dipersembahkannya.Kebulatan tekada untuk mempesembahkan adalah spirit jiwa yg harus dikobarkannya. Kita menyaksikan demontrasi iman wanita yg dianggap tak berharga, bersinar tak tertahankan menembus sampai cinta yg tiada batas. Iman itu berkobar dengan nyala api yg tak terpadamkan. Walaupun hari besok masih harus bergumul dengan sejumlah persolan ekonomi dan konsumsi hidupnya. Janda miskin tidak merasa kekurangan dengan kemiskinannya, karena ia tahu kepada siapa ia telah mempersembahkan hidup dan haratanya.
Prioritas pengajaran Tuhan Yesus tidak membicarakan seberapa besar persembahan kita, namun bagaimana cara kita mempersembahkannya kepadaNya.
Yang lebih mayor.......adalah Kualitas persembahan kita kepadaNya!
Jika cara kita benar maka persembahan pastilah berbanding lurus dengan kesanggupan kita untuk memberi. Jika cara kita salah maka hanya publikasi aksi panggung saja yg meramaikan gereja.
KIta tidak perlu ragu mengajarkan persembahan yg berbasiskan teologia yg benar, "memberi bukan supaya diberi namun memberi karena sudah diberi"
Justru memaksakan trend stimulan psikologis dalam memberikan persembahan adalah bentuk kekuatiran diri sendiri, seolah-olah Tuhan tidak mampu menopang kebutuhan pelayanan jika tidak kita bantu dengan banner ketuk pintu hati pemirsa atau setting persembahan sebagai aksi panggung!
Pastikan persembahan kita kepada Allah adalah penyembahan yg paling baik dan total dalam hidup kita! GBU
by Haris Subagiyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar