Sabtu, 21 Juli 2012

“Sepatu Dahlan,” Kisah Kemiskinan yang Menginspirasi

Novel Sepatu Dahlan. koleksi pribadi Sepatu Dahlan, Kisah Kemiskinan yang Menginspirasi Bagaimana orang memaknai kemiskinan yang tengah mereka alami? Tentunya sangat banyak cara. Ada yang karena miskin, kemudian meminta-minta di jalanan, tidak peduli, tua dan muda semuanya menengadahkan tangan meminta sedikti receh dari hati orang yang suka berderma. Ada juga yang tidak mau membiarkan kemiskinan memiskinkan hatinya. Orang-orang seperti ini, miskin bukan karena kemiskinan itu sendiri, lebih kepada kesempatan yang tidak berpihak. Pada kasus inilah sepertinya Dahlan, tokoh dalam Sepatu Dahlan menjalani kemiskinannya. Dahlan menuliskan kesannya terhadap kemiskinan yang dialaminya: Aku takkan bersedih lagi. Kemiskinan bukan untuk ditangisi. Hidup bagi orang miskin sepertiku harus dijalani apa adanya. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang anak remaja dengan ibu yang sakit (kemudian meninggal) dan ayah yang hanya kerja serabutan menjalani hidupnya. Boleh dikatakan, inilah kemiskinan yang benar-benar miskin. Hampir-hampir tidak memiliki apa-apa, baju dan celana hanya satu, selain itu sarung, tanpa sandal dan sepatu. Namun apa yang bisa kita lihat dari tokoh Dahlan ini adalah semangat bahwa kemiskinan harus dijalani apa adanya, tiada ada waktu untuk mengeluh. Seluruh kisah dalam Novel Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Khrisna Pabichara ini merupakan inspirasi kisah nyata Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan. Membaca novel ini adalah membaca kisah Dahlan Iskan sewaktu kecil, hidup miskin di kampung yang jauh dari kota. Hidup bersama dengan banyak orang miskin lainnya sehingga tekanan kemiskinan tersebut bisa dibagi bersama. Novel setebal 392 halaman ini dimulai dengan Prolog: 18 Jam Kematian dan diakhiri dengan Epilog: Mimpi Baru. Di antara Prolog dan Epilog tersebut terdapat 32 kisah haru biru mengenai sang tokoh, Dahlan. Sungguh sebuah kisah panjang yang enak untuk ditelusuri dengan segala romansa yang diselubungi oleh kemiskinan. Coba kita nukilkan yang berikut ini: “Pak, ndak ada tiwul? Bapak tersenyum lembut, “Puasa dulu Le.” Aku mengangguk mendengar jawaban Bapak sambil memegang perut yang mulai terasa perih. Sebenarnya ingin sekali mengatakan betapa laparnya perutku, tapi jawaban Bapak sudah menerangkan segalanya, tak ada lagi yang patut dipertanyakan. Bagi orang miskin, rasa lapar adalah hal sehari-hari yang harus dijalani. Namun sering untuk mengatasinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada mulanya, Dahlan mencuri tebu yang ada di kebun tebu di dekat rumahnya. Namun hal ini diperingatkan oleh kakaknya. “Lapar ndak berarti harus maling, Dik. Bukan karena nama baik keluarga, tapi Mbak takut itu jadi kebiasaan. Setiap perut kalian lapar, nyuri jadi pilihan “Ojo wedi mlarat. Yang penting tetap jujur!” Demikianlah, Dahlan sesudah itu tidak lagi mencuri tebu. Setiap ia lapar, sarung memiliki fungsi, yaitu menahan rasa lapar tersebut dengan cara mengikatkan sarung sekencang-kencangnya di perut. Selain itu ia mencari ikan di sungai yang kemudian akan dibakar dengan bahan bakar dari kotoran sapi yang sudah mengering. Tentu seperti yang saya tuliskan, tidak semua orang miskin memiliki jalan keluar yang sama dalam mengatasi rasa laparnya. Ada yang mencuri, ada yang meminta-minta dan mungkin ada beberapa cara yang lain. Namun Dahlan bukan satu di antara mereka. Dahlan memilih berusahan sendiri mengatasi rasa laparnya, mencari rezeki tuhan dengan menangkap ikan di sungai, meskipun kemungkinan untuk mendapatkan ikan belum tentu sangat besar. Potret kemiskinan terasa benar dalam Novel Sepatu Dahlan ini. Dahlan sendiri tidak memiliki sepatu sampai dengan akhir tahun kelas dua Aliyah, itu pun sepatu bekas yang harus ia rawat agar bisa cukup tahan dipakai. Sangat banyak kata-kata yang menasihati kita agar tidak jatuh dalam meratapi kemiskinan yang kita alami. Novel Sepatu Dahlan ini membekaskan lebih jauh agar kita, semiskin apapun, masih ada harapan untuk bisa lebih baik di suatu saat kelak. “Kita boleh miskin harta, Dik, tapi ndak boleh miskin iman. Ingat semiskin apa pun kita, Bapak dan Ibu ndak rela kalau kita meminta-minta belas kasihan tetangga, keluarga atau siapa saja.” Betapa saya tersentak dengan kalimat di atas. Betapa dalam, dan sungguh kemiskinan tidak bisa kita jadikan alasan untuk mengemis. Kita diperlengkapi oleh Yang Maha Kuasa dua tangan, dua kaki, mulut untuk berbicara, otak untuk berpikir, sehingga ketika kita miskin kita sebenarnya tidak layak untuk memiskinkan hati kita, memiskinkan iman kita dengan menjadi peminta-minta dan meminta belas kasihan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar