Sabtu, 30 Juli 2011

Mengejar tuhan ditengah pasar

Potret manusia-manusia rohani yg sedang berjuang keras untuk tidak terikat hatinya dengan gaya hidup duniawi. 
Dengan membawa nama Tuhan tidaklah cukup bagi kita untuk menjadi manusia rohani, dengan terlibat aktif dalam pelayanan, kesetiaan ibadah, belajar Alkitab bukan berarti kelekatan hati kita tertuju kepadaNya.
Manusia lahiriah kita sering demikian atraktif berdemontrasi menutupi kegersangan spiritual kita yg sesungguhnya jauh dari Allah. 
Jika kita sudah berkata: "cukup" dengan segala usaha kita untuk bekerja melayani Tuhan karena seluruh hidup dan masa depan sudah kita investasikan kepadaNya. 
Pastikan bahwa arah langkah kita tertuju hanya kepada Allah saja, karena tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam banyak kesempatan energi kita terkuras untuk mengejar allah yg palsu, allah yg kita kondisikan untuk bekerja memenuhi kepentingan diri sendiri. 

MENGEJAR allah MASA KINI, yg sementara, yg sesuai tuntutan perut. Ini bukanlah persoalan mereka yg jauh dari lingkungan kekristenan atau lembaga rohani. Godaan materialisme tidak dapat dipandang sebelah mata yg dianggap sebagai persoalan orang kristen yg tidak dewasa rohani. Kita semua mengalami potensi godaan persoalan yg sama kualitasnya. 
Allah yg tampak mata, allah yg menggugah selera walaupun hanya sementara tak pelak kitapun sering tergoda olehnya. Kita bukan mengejar Allah dalam kekekalan namaun mengejar tuhan ditengah pasar. itulah realita !!!!

Bagaimanakah langkah kita tetap terjaga berada pada arah lari yg benar dengan HANYA MENGEJAR ALLAH saja dalam seluruh waktu hidup ini?



Orang kaya sukar masuk Kerajaan Allah
10:17 Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut u  di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? v 10:18 Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. 10:19 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu! w "10:20 Lalu kata orang itu kepada-Nya: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku." 10:21 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, x  maka engkau akan beroleh harta di sorga, y  kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku. z " 10:22 Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. 10:23 Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: "Alangkah sukarnya orang yang beruang 5  a  masuk ke dalam Kerajaan Allah." 10:24 Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: "Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. b  10:25 Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. c " 10:26 Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?" 10:27 Yesus memandang mereka dan berkata: "Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. d  Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah."


Belajar dari Tuhan Yesus yg membimbing seorang Farisi untuk memiliki kekekalan hidup.
Markus 10 : 17 - 25
Tampillah seorang Farisi yang kaya-raya.datang dengan berlari-lari mendapatkan Yesus dan berlutut di depanNya. Secara umum orang Farisi selalu datang pada Tuhan Yesus dengan motif menjerat. Tetapi dia datang dengan sikap yang begitu antusias ,santun dan penuh hormat kepada Tuhan Yesus 


Tujuan kedatangannya bukan main-main, ia sedang menyampaikan pertanyaan sangat mendasar dan bernilai, tentang kekekalan hidup yg tidak diperoleh sejalan dengan pengetahuan rohani dan kekayaan materinya.
Di satu pihak dia berhasil membuktikan untuk memperoleh kekayaan secara materi, tetapi di pihak lain dia belum mengetahui bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh hidup yang kekal.  


Untuk mengukur sejauh mana keseriusan kita berjerih lelah untuk mengkondisikan Tuhan tinggal dan bekerja secara efektif dalam diri kita:


a. MEMILIKI  KETULUSAN HATI bukan sebatas KERENDAHAN DIRI  (ayat.17-18)

Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? (ayat.17)

"Berlari-lari mendapatkan Yesus sambil bertelut" suatu usaha perendahan diri yg dilihat oleh banyak orang tanpa merasa malu......luar biasa.
Status sosial yang terhormat sebagai orng Farisi dengan kekayaan yang melimpah tidak membuatnya menjadi seorang yg arogan. Justru ia bersungguh-sungguh berusaha berjumpa dan merendahkan diri secara ekspresif di hadapan Tuhan Yesus.
  • Seorang Farisi yg berlari-lari untuk berjumpa Yesus
  • Seorang Farisi yg bersedia membungkkan diri didepan Yesus
  • Seorang Farisi yg berani mengakui eksistensi Yesus sebagai guru yg baik 
Semua upayanya menjelaskan usahanya yg berani keluar dari zona kemapanan dan status sosial. Ia berani mengabaikan semua yg ada dalam dirinya untuk memperoleh jawab atas kekosongan jiwanya.


Seorang kaya yg bersemangat mencari nilai kebenaran


Tidak terbatas pada antusias bekerja mengumpulkan kekayaan, tetapi dia juga seorang yang peduli dengan kehidupan kekal. Pilihan hidupnya bukan hanya terarah kepada kepentingan dunia tetapi juga peduli dengan masalah keselamatan. Sikap hidup yang demikian mencerminkan pilihan yang ideal dan seimbang yaitu sukses secara materi dan rohani.   . 

Kontras dengan realita sebagaian besar orang perccaya yg terus mengejar kekayaan secara materi tetapi mereka selalu tidak pernah merasa puas. 

Tidak sedikit orang yg menyebut dirinya beriman namun karena merasa sudah mapan, merasa tidak perlu memiliki iman kepada Allah. 
Untuk apa beriman kepada Allah jikalau segala sesuatu dapat diatasi dengan kemampuan materi dan fasilitas yang tersedia. 
Untuk apa berdoa jika mampu mengumpulkan uang dengan kemampuan dan kepandaian mereka. Sikap ini membangun pribadi yang congkak dan merasa tidak perlu merendahkan diri dengan bertelut di hadapan Tuhan Yesus. 



b. MEMILIKI SPIRITUAL PADA ALLAH bukan sekedar moral yg baik (Ayat.19-20)    

Kewajiban sebagai seorang Farisi yg taat pada perintah agama tidak serta merta memiliki kualitas spiritual yg benar dihadapan Allah.
Tuhan Yesus memberi jawaban, yaitu: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!” (Mark. 10:19). 
Jawaban Tuhan Yesus tersebut secara khusus menunjuk kepada suatu kelompok dari Sepuluh Firman Allah yang berkaitan dengan kasih kepada sesama. 


Dasa Titah terdiri atas 2 kelompok besar:
Firman 1 sampai 4 berkaitan dengan kasih kepada Allah; 
Firman 5 sampai 10 berkaitan dengan kasih kepada sesama. 


Sangat menarik, bahwa hidup yang kekal dalam jawaban Tuhan Yesus ditekankan kepada kasih kepada sesama dan bukan kepada Allah. Tentunya jawaban Tuhan Yesus tersebut tidak bertujuan untuk mengatakan bahwa perintah untuk mengasihi kepada Allah dapat diganti dengan hukum kasih kepada sesama. 
Dasarnya adalah setiap orang Farisi pastilah orang-orang yang sangat peduli dengan kasih kepada Allah, tetapi dalam praktek hidup mereka justru sering kurang peduli dengan sesama. Orang-orang Farisi umumnya sangat religius, tetapi pada sisi lain mereka kurang “humanis” dan “sosial”. Tetapi khusus untuk orang Farisi yang kaya-raya tersebut, dia memberi jawaban yang mengagumkan, yaitu: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku" (Mark. 10:20). Wooooow Betapa luar-biasanya spiritualitas orang Farisi yang kaya-raya itu. Dia telah menghayati  dan melaksanakan perintah Allah bukan sekedar suatu kewajiban. Juga bukan karena di tengah perjalanan hidup dia “bertobat” menyadari situasi kefanaannya sebagai manusia. Tetapi dia telah melaksanakan seluruh perintah Allah tersebut sejak dia masih muda. Terbukti ia tetap konsisten sejak masih muda sampai sekarang untuk setia melaksanakan perintah Allah.     

Spiritualitas yang sehat dan berkualitas ditandai oleh pertumbuhan yang selalu konsisten. Sebab sikap rohani yang konsisten menunjukkan kondisi iman yang stabil. Orang Farisi yang kaya-raya itu bukan hanya pandai untuk mengembangkan bisnisnya, tetapi dia juga seorang yang peduli dengan sesamanya. Sikap religiusnya tidak membuat dia menjadi seorang yang hanya berorientasi kepada ritual keagamaan tetapi juga setia untuk memberlakukan kasih kepada sesamanya. Sehingga tidak mengherankan jika di Mark. 10:21 menyaksikan sikap Tuhan Yesus, yaitu: “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya”. 

Dalam hal ini kita selaku gereja dipanggil oleh Allah untuk memiliki proses pertumbuhan iman yang konsisten dan stabil. Kita sangat prihatin, bahwa beberapa orang pada suatu momen tampak begitu bersemangat dan antusias dalam melayani pekerjaan Tuhan; tetapi tidak lama kemudian dia menjadi cepat patah arang dan mengabaikan seluruh firman Allah.  

Kita sering menganggap sikap rohani yang pasang-surut sebagai hal yang manusiawi. Sehingga kita sering membiarkan diri untuk berada dalam kondisi “surut”, dan baru mau “pasang” saat ajal mulai menjemput. Padahal keadaan rohani yang mudah “pasang-surut” menunjukkan bahwa spiritualitas kita sangat lemah untuk sikap setia kepada kehendak Allah.

Itu sebabnya respon terhadap hukum dan kehendak Allah lebih sering ditentukan oleh dorongan perasaan dan keinginan pribadi, bukan didasarkan kepada sikap ketaatan dan kesetiaan yang tanpa syarat. Dalam kondisi yang demikian mereka yang mundur dari pelayanan sering mengharap untuk “dibujuk dan dirayu” terlebih dahulu agar mereka mau kembali aktif untuk melayani Tuhan. Baru setelah orang-orang di sekitar menunduk dengan “bertelut” di depan mereka, maka mereka baru bersedia untuk melayani Tuhan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kita sering bersikap congkak dan jauh dari sikap spiritualitas yang sehat dan stabil. Sehingga tidak mengherankan jikalau Kristus tidak mau memandang kita dan menaruh kasih seperti yang dilakukanNya kepada orang Farisi yang kaya-raya itu. 

C. MEMILIKI  DEDIKASI PADA ALLAH bukan sekedar visi    


“Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin,  maka engkau akan beroleh harta di sorga,   kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mark. 10:21).

Orang Farisi yang kaya-raya telah mendemonstrasikan sikap yang rendah-hati, mau peduli dengan hukum-hukum Allah sejak masa mudanya dan antusias untuk memperoleh hidup yang kekal, seolah-olah ia memiliki visi yg sangat besar dalam dirinya lebih dari yg telah dapat dicapainya. Namun Tuhan Yesus menuntut bukan sekedar visi yg besar namun DEDIKASI YANG NYATA kepada TUHAN. 
Menjadikan Tuhan lebih dari siapapun dan apapaun.
Menjadikan Tuhan jauh lebih besar dari segala kebutuhan kita
Menjadikan Tuhan lebih besar dari diri kita sendiri
Menjadikan Tuhan PUSAT dari seluruh hidup kita selama-lamanya.


Selama ini dia telah menunjukkan kasih kepada sesama melalui hartanya. Dia juga telah melaksanakan hukum-hukum Allah sejak masa mudanya. Seakan-akan semua yang telah dilakukan sungguh sempurna. Tetapi ketika dia mendengar jawaban Tuhan Yesus untuk menjual apa yang dia miliki dan membagikan kepada orang-orang miskin, 


Markus 10:22 
“Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya”. 


Sikap orang Farisi yang kaya-raya tersebut sungguh kontradiktif. Semula dia berlari-lari mendatangi Tuhan Yesus dengan antusias dan berlutut di hadapanNya. Tetapi kini dia segera pergi meninggalkan Tuhan Yesus sebab kecewa dengan jawaban yang diberikan olehNya. Dia enggan untuk melaksanakan apa yang diminta oleh Tuhan Yesus sebab hartanya sangat banyak. 
Mungkin bagi orang Farisi yang kaya-raya itu dengan senang hati dia membagikan sebagian kecil dari harta-bendanya. Tetapi untuk menyerahkan seluruh harta miliknya kepada sesama yang membutuhkan, dia tidak sanggup. 
Jadi melalui kekecewaan meninggalkan Tuhan Yesus sebenarnya orang Farisi tersebut telah memperlihatkan eksistensi yg sesungguhnya: bahwa ternyata kualitas hidupnya tidak terletak kepada kasih kepada Allah dan sesama, tetapi kepada harta-benda yang dimilikinya. 


Dalam konteks ini dia gagal memenuhi hukum pertama dari Sepuluh Firman Allah yang berkata: “Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu” (Kel. 20:3). Dia telah menjadikan harta-benda yang dimiliki sebagai wujud dari “ilah” sehingga dia lebih memilih untuk meninggalkan Kristus dari pada menjual dan membagi-bagikan harta-bendanya.  


Sebab makna “ilah” pada hakikatnya menunjuk kepada siapa atau apapun juga hati kita terikat dan memujanya. Sosok para “ilah” pada zaman sekarang dapat berupa: uang, status sosial, properti, hand-phone, note-book, hobi, seks, makanan lezat atau apapun yang membuat hati kita melekat dan tergantung kepadanya.    ini adalah bagaikan sikap sedang mengejar tuhan ditengah pasar, berusaha keras dengan alasan-alasan yg rohani, semangat powerful namun berhenti untuk tujuan yg temporer.



Ungkapan “mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya” pada hakikatnya untuk menunjukkan kepada sikap hati seseorang yang tidak ingin harta-bendanya diungkit atau dibahas sebagai syarat untuk memperoleh hidup yang kekal. 


Di balik sikap orang Farisi yang kaya-raya dan sangat antusias mendatangi Tuhan Yesus sambil berlutut sebenarnya mau memperlihatkan atau mendemonstrasikan sikap tubuh fisiknya saja yang mau menyembah. Tetapi hatinya ternyata sarat dengan harta-benda sehingga dia tidak ingin ingin berlutut dan menyerahkan seluruh miliknya kepada Tuhan Yesus. 


Sikap orang Farisi tersebut sering juga menjadi pola sikap kita selaku jemaat Kristus. Mungkin secara fisik dan liturgis, kita dapat begitu antusias sebagai  para “penyembah Allah” yang sungguh-sungguh saat beribadah; tetapi apakah hati atau jiwa kita juga sungguh-sungguh menyembah Allah dan mempermuliakan Kristus? 
Apakah kita mau meninggalkan segala “ilah” yang memperbudak dan menyenangkan hati kita?  Dengan demikian tidaklah cukup bagi kita hanya untuk mencari makna hidup yang kekal dengan sikap yang antusias; tetapi pada sisi lain kita tidak antusias dan sungguh-sungguh untuk meninggalkan segala hal yang diilahkan atau diidolakan. 

KEJARLAH TUHAN YANG KEKAL 



Pesan utama dari perikop tersebut sebenarnya membahas penghalang utama bagi seseorang untuk memperoleh hidup yang kekal. Dimana penghalang utama setiap orang selalu berbeda-beda. Bagi beberapa orang penghalangnya adalah sikap serakah, sikap malas, penganut hedonisme, para pezinah, pemabuk, atau berbagai bentuk karakter yang buruk. Semua sikap tersebut secara prinsipial menghalangi seseorang untuk mengikut Kristus dan memperoleh hidup yang kekal. 

Sehingga yang dimaksud Tuhan Yesus dengan perkataan: "Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mark. 10:24-25) pada hakikatnya menunjuk kepada setiap orang yang tidak “kaya” di hadapan Allah. 

Jadi makna “tidak kaya di hadapan Allah ” merupakan sikap spiritualitas orang-orang yang berorientasi kepada keinginan dan hawa-nafsu duniawi. Mungkin dari penampilan lahiriah mereka sangat antusias dengan berbagai perkara agamawi, tetapi sesungguhnya hati mereka jauh dari sikap kasih kepada Allah dan sesamanya. 


Rasul Paulus berkata: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!”  (II Timotius 3:5)  

Penghalang pertumbuhan spiritualitas bukan hanya perlu disadari tetapi juga seharusnya diakui dengan sikap pertobatan di hadapan Allah. Sebab dengan pengakuan yang lahir dari hati yang hancur akan terbuka rahmat dan belas-kasihan Allah. Sehingga dengan rahmat Allah tersebut akan memampukan kita untuk hidup benar di hadapanNya. Namun kita sering berupaya untuk menyembunyikan berbagai penghalang spiritualitasnya dengan sikap yang munafik. Seperti orang Farisi yang kaya tersebut begitu fasih memuji Tuhan Yesus dengan sapaan “Guru yang baik” dan berlutut di hadapanNya. Namun setelah Tuhan Yesus menyatakan kebenaran yang esensial, dia segera pergi  meninggalkanNya. Sikap antusiasme orang Farisi tersebut segera berubah menjadi kegetiran sebab dia tidak berhasil menunjukkan prestasi rohani yang selama ini dibangga-banggakan. Perkataan Tuhan Yesus begitu tajam menembus isi hatinya yang terdalam, sehingga menyingkapkan watak aslinya. 

Panggilan untuk memilih hidup yang benar tidaklah cukup dilandasi oleh sikap yang antusias mencari Tuhan Yesus. Juga tidak cukup dinyatakan dengan berlutut di hadapanNya. Bahkan juga tidak cukup setia melakukan firman Allah sejak masih muda. Lebih dari pada itu adalah apakah hati kita yang terdalam sungguh-sungguh hanya melekat kepada Allah dan bukan kepada kuasa dunia ini. 
Selama hati kita sering melekat kepada gegap gempita kuasa dunia, sehingga segala tindakan kita yang tampaknya rohani, benar dan mulia akan berubah menjadi kemunafikan belaka. Kadang kita tampak berkobar-kobar mencari Tuhan Yesus. Namun sesungguhnya kita hanya mengejar keinginan sendiri yg dibebankan kepada Tuhan. Kita bukan sedang mengejar Tuhan yg kekal tetapi tuhan yg fana, kita bukan mengejar kemuliaan Tuhan tetapi kepuasan lahiriah.
Alasan yg kita bawa sellalu benar namun tujuan yg hendak kita capai diri sendiri dan kefanaan hidup.


Masihkah kita mengejar Tuhan ditengah pasar atau menempatkan Tuhan dikekekalan?
amin GBU all....



Jumat, 29 Juli 2011

Allah yang Menyediakan

By Haris Subagiyo


Allah kita didalam Tuhan Yesus bukanlah Allah yg kerjanya:hanya memerintah, menuntut dan meminta! Tetapi Dia juga adalah yg dengan senang hati memberi, mengasihi, berbelas kasihan kepada kita. Bahkan hampir seluruh sejarah manusia dipenuhi dengan demontrasi kuasa dan kasihNya yg menopang, membela dan memelihara kita setiap hari.
Jehovah Jireh yg berarti "Allah yg menyediakan" menjadi pokok bahasan yg sangat menarik, relevan dan mudah diaplikasikan. Ungkapan Allah yg menyediakan itu sudah sangat melegakan . Karena bayangan kita langsung membesarkan harapan kepada Allah yg menyediakan itu bermanifestasi dalam kebutuhan dan persoalan kita saat ini. Kerinduan kita supaya Allah bergegas-gegas masuk dalam wilayah krisis , mengambil alih ketidakberdayaan dan menggantikannya dengan kedahsyatan kuasaNya.
Jehovah Jireh seringkali bukan menjadi SUBYEK yg mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya namun lebih sering kita posisikan sebagai OBYEK yg di-eksploitasi untuk kepentingan sesaat.
Kebesaran Pribadi Allah telah kita kurung dalam pemahaman kemakmuran manusia. Sikap Allah akan dinilai benar, mulia dan agung kalau dianggap memenuhi kualifikasi kehebatan mencurahkan berkat bagi umatNya. 


Memang Dia adalah Allah yg menyediakan namun konsep Jehovah Jireh tidak dapat kita sandra dengan konsep materi dan pemenuhan hasrat manusia.
Jehovah Jireh adalah karakter bahwa Dia adalah Allah yg menyediakan tidak bergantung dengan penilaian kita. Memahami bentuk kerja Allah secara nyata tidak dapat diukur dari telah dipenuhinya sejumlah persoalan pribadi yg dijawab oleh Allah. 
Otoritas Pribadi Allah menuntut tempat paling utama lebih dari berkat-berkat yg dilimpahkan kepada umatNya. 
Karya sempurna Allah bekerja melintasi dimensi alamiah dan diluar kekuatan logika manusia. Sehingga pekerjaanNya tidak dapat kita apresiasi jika hanya bersentuhan dengan kebutuhan diri atau sesuai harapan kita.


Kenyataannya JEHOVAH JIREH telah dipahami sebagai Allah yg dimodifikasi untuk  tidak boleh absen dalam mengisi semua aspek keiinginan manusia.bukan diberi tempat untuk melaksanakan kehendak Allah dalam diri kita.


Study Kata: Yehovah Yireh
Akar kata YIR'EH adalah RÂ'ÂH artinya melihat dalam bentuk Qal Imperfect untuk orang ketiga tunggal maskulin. JEHOVAH YIREH  berarti "Allah akan memperlihatkan – bagi-Nya sendiri"
Allah yg menjadi pusat perhatian, kepentingan Allah sebagai tujuan
Melihat secara lengkap adalah kesanggupan Allah yg didemontrasikan.
Sebelum kita melihat, Dia sudah melihat secara utuh rencana, kebutuhan dan persoalan kita.
Sebelum kita merasa sanggup Allah sudah menyatakan kekuatanNya yg sangggup bekerja didalam kita.
Segala persoalan ketidakmampuan ,kelemahan, ketidak berdayaan, keterbatasan manusia menunjukkan betapa lemahnya manusia hidup tanpa ketergantungan pada Allah.


Jehovah Jireh dapat dipahami sebagai Allah yg sanggup melihat secara utuh jati diri manusia supaya dapat dipakai sebagai sarana yg efektif mencapai tujuanNya.


Pengenalan terhadap Allah yg menyediakan bukan menjadi dasar kita untuk mengobral berbagai permintaan kepada Allah! Tetapi menjadi spirit moral yg makin kuat untuk menanggapi kehendakNya untuk dapat bekerja melalui diri kita


Bagaimanakah iman kita memiliki ENERGI yg konsisten untuk mempercayai Allah yg Menyediakan?


Kejadian 22 : 1- 19


1. Kenalilah ALLAH SEBAGAI PRIBADI YG TIDAK PERNAH SALAH (ayat.1)


Perintah Tuhan dijawab dgn segera: "YA TUHAN" demikian tegas dan tanpa ragu jawaban Abraham serasa tanpa  pergulatan yg panjang. 
Respon yg cepat, jawaban tanpa keraguan dan tindakan yg tepat seperti perintah Tuhan bahkan tidak ditemukannya tawar menawar untuk meringankan beban. Itu bukan menunjukkan Abraham hidup tanpa pergumulan iman. Namun diskusi imannya dalam menanggapi permohonan Allah selalu dijawab dengan cerdas bahwa: "Allah tidak pernah salah dalam bertindak". 
Kita sering menuntut Allah untuk menjelaskan argumentasi tindakanNya yg tidak sinergi dengan harapan baik. 
Kita meminta supaya misteri Ilahi tidak fair hanya dijelaskan dengan bahasa iman saja namun seharusnya boleh dipahami secara argumentatif dengan bahasa logika manusia.
Kita merasa berkepentingan untuk mendapatkan jawaban dari Allah secara langsung, mengapa Allah meminta persembahan Ishak?


Tujuan Allah meminta Abraham mengorbankan anaknya bukan untuk alasan yg merugikan, melukai atau bahkan membunuh. Pastinya secara kulitatif tujuan Allah:
a. Untuk menguji iman, berarti menaikkan level iman menjadi semakin efektif . (ayat.1)
b. Untuk memangkas ketergantungan kita pada siapapun dan apapun kecuali Allah saja.




Namun hal itu masih menyisakan seribu satu pertanyaan tentang sikap Allah kita endapkan dalam diskusi pikiran yg tidak pernah selesai. 
Mengapa Allah mengijinkan? Mengapa Allah bersikap sembrono? Mengapa Allah tidak membela? Mengapa Allah diam saja? WHY LORD...........??????


Abraham mengembangkan prinsip "YES GOD"  selalu katakan Ya kepada Tuhan.
Prinsip iman yg dikemukakan adalah: Sejauh menyangkut KEPENTINGAN TUHAN , perintah kerjanya mutlak untuk dimengerti dan segera dilakukan. Ia tidak perlu lagi mendiskusikan dengan pikiran atau berlama-lama dengan alasan butuh waktu untuk bergumul.


Kontradiksi pikiran manusia dengan kehendak Allah sering menjadi kenyataan yg tak terhindarkan! Tidak ada artinya manusia menuntut Allah menjelaskan rahasia kerjaNya. 
Allah tidak mengaruniakan kepada kita kuasa untuk memahami rahasiaNya tetapi Allah memberikan KEBERANIAN YANG BESAR untuk MEMPERCAYAI dan MELAKUKAN tanpa ragu seluruh kehendakNya.


Rahasia Abraham untuk menghentikan pergumulan iman yg berlarut-larut tanpa batas adalah mendorong secara kuat kepercayaan bahwa Allah sekali-kali tidak pernah berbuat salah kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Berani berkata YA kepada Tuhan dan berpikir kemudian....


Aplikasi:
Jangan merohanikan pergumulan persoalan kita yg berlarut-larut sebagai alasan untuk tidak mengeksekusi tindakan iman. Selama kita berjalan bersama dengan Allah, jangan pernah ragu tentang berbagai pengalaman yg sedang kita hadapi. Karena Allah sedang bekerja didalamnya dan segala se suatu yg dikerjakan Allah pastinya tidak pernah salah. 
Percayalah bahwa Dia adalah Yehovah Yireh: Allah yg menyediakan pada waktu yg tepat, pada tempat yg tepat dan pada orang yg tepat pula.
II. Kenalilah ALLAH sebagai Pribadi yg TIDAK PERNAH KEHABISAN CARA (aya.7-8)


Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba  untuk korban bakaran itu?" ayat. 8 Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan   anak domba  untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku."

Betapa sulitnya menjawab pertanyaan Ishak, anaknya yg hendak dikorbankan diatas mezbah! 
karena beberapa alasan:
a. Ishak adalah anaknya yg satu-satunya (darah daging)
b. Ishak adalah anak perjanjian (pemberian istimewa dari Allah)
c. Ishak sudah berpikir rasional sehingga tidak dapat dibujuk dengan jawaban yg tidak logis.


Jika demikian mudahnya Abraham membangun kepercayaan pada anaknya, pastilah itu bukan proses yg terjadi secara spontan. Namun Abraham telah mempraktekkan kehadiran Yehovah Yireh dalam keseharian.
Salah satu alasan mengapa Ishak yg sudah besar tidak memberontak kepada Abraham adalah karena dia mewarisi iman bapaknya, keteladanan iman setiap hari membangun kekuatan untuk tetap mempercayai Allah dalam situasi sesulit apapun.


Iman yg kondusif melahirkan kekuatan iman yg baru didalam keluarga!


Percaya pada Tuhan dan begitu beraninya ia memberikan semuanya yg paling baik dan terbesar dari hidupnya sendiri, bagaimana mungkin itu dapat dikerjakan?
karena satu alasan JEHOVAH JIREH: Allah yg menyediakan: ia sangat percaya Allah adalah sumber, dari padaNya segalanya dan untuk Dialah segalanya. Sehingga dapat kita pahami kerelaan Abraham bersumber pada kepercayaan Allah yg memberi, Allah juga yg berhak mengambil.
Ishak adalah seorang anak yg diberikan Allah secara ajaib, dikala Sara , istrinya berusia 90 tahun (mati haid) dan Abraham berumur 100 tahun bahkan dalam masa penantian yg sangat panjang sedikitnya 25 tahun. Namun Allah tidak pernah kehabisan cara memenuhi janjiNya kepada Abraham.
Sekarang Allah meminta lagi anak yg pernah Dia berikan, Abraham tetap percaya bahwa Allah tidak pernah kehabisan cara untuk memberikan yg jauh lebih baik.


Aplikasi:
Menyerah kalah pada keadaan adalah hasil permufakatan logika kita yg tidak dapat menemukan cara Allah untuk menjadi sumber pertolongan. Sudah saatnya kita mengakhiri pertanyaan: bagaimanakah cara Allah membuka jalan yg tertutup, dikurung tembok yg sangat tinggi, persoalan sebesar gunung! 
Mengibarkan bendera ketidakmungkinan adalah jalan yg paling mudah untuk membiarkan diri kita dihancurkan oleh keadaan.
Namun bagi kita yg memiliki Jehovah Jireh boleh mendapatkan kepastian jawaban bahwa:
Allah sanggup bekerja dalam segala perkara
Allah memiliki banyak cara yg tidak tergantung dengan cara kita
Letakkan seluruh doa, persoalan dan kebutuhan kita dengan keyakinan Allah yg kita sembah adalah ALLAH YANG MENYEDIAKAN.


III. Kenalilah bahwa Rencana Allah pasti sangat MULIA (ayat.5)


Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu. 


Dalam konteks transaksi rugi laba, ada banyak alasan untuk menolak perintah Allah, karena sangat berlawanan dengan norma dan akal sehat!. Abraham sedang dalam posisi kritis, tidak menguntungkan bahkan sangat dilematis. 
Namun bagaimana respon Abraham terhadap perintah Allah?  
Abraham tetap dapat berpikir konstruktif (membangun) tentang keadaan, orang dan Allah.
Tidak ada kecurigaan sama sekali terhadap rencana Allah yg menuntut persembahan anaknya.


Kejernihan hati dengan taat menjalankan perintah Tuhan tidak mungkin berjalan secara alami. Kebeningan hati yg dengan sungguh-sunnguh percaya dan melakukan firman Tuhan dengan tepat karena ditenagai oleh kekuatan iman bahwa Rencana Allah pasti lebih mulia dari rencananya.


Abraham menaruh harapan masa depan pada Ishak anaknya, ia adalah harta paling besar dan satu-satunya pewaris generasi. Ishak adalah anak perjanjian yg diupayakan dengan iman sedikitnya 25 tahun, Ishak adalah berkat yg sangat besar yg diturunkan dari tangan Allah sendiri.
Perintah untuk mengorbankan anaknya digunung Moria itu hendak membongkar harapan manusia, semua cita-cita, harapan masa depan dan visi pewaris generasi yg diletakkan pada anak yg dikasihinya..
Prinsip yg Allah sampaikan bukannya Dia tidak menghargai berkatNya sendiri namun orientasi harapan kita tidak tertuju pada berkatNya tetapi pada otoritas PribadiNya. bukan pada pemberianNya tetapi pada Sang Pemberi berkat. Bukan pada APA yang Tuhan berikan tetapi pada SIAPA yang memberi hidup.


Untuk mewujudkan rencanaNya yg agung dan mulia itu, terkadang Allah harus membabat habis seluruh konsep. cita-cita atau visi masa depan yg sedang kita bangun.


Bagi Abraham, kehadiran Ishak sebagai anak tunggal sudahlah cukup memuaskan hatinya. Tetapi Allah memiliki rencana yg jauh lebih besar dari hanya kehadiran Ishak
maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit   dan seperti pasir di tepi laut,  dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. ayat.18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat,   karena engkau mendengarkan   firman-Ku


Allah sudah membuat rancangan masa depan super bagi Abraham, dimana :
a. Jumlah keturunan Abraham akan menjadi sangat amat banyak, tak terhitung jumlahnya
b. Keturunannya akan menjadi generasi yg kuat dan berhasil
c. Keturunannya akan menjadi saluran berkat bagi semua bangsa dimuka bumi.


"Allah yg menyediakan" memanifestasikan kerja tidak terbatas pada kepentingan sesaat atau hanya untuk diri kita saja. Lebih besar dari itu Allah merancangkan program hidup yg besar, membuat hidup bermutu dan berhasil bahkan menciptakan kehadiran kita dimanapun sebagai saluran berkat Allah. 
Untuk menghadirkan Jehovah Jireh berurusan secara langsung dengan pekerjaan, pelayanan, keluarga, studi dan masa depan kita maka Dia membutuhkan kerjasama yg sinergis dengan diri kita
a. Jehovah Jireh tidak dapat bekerja tanpa KETAATAN kita kepadaNya
b. Jehovah Jireh tidak dapat bekerja tanpa IMAN kita kepadaNya
c. Jehovah Jireh tidak dapat bekerja tanpa PENGORBANAN kita kepadaNya


Nikmati kehadiranNya secara nyata karena Dia tidak pernah jauh dari kita, Dia selalu dekat dan menaruh belas kasihan kepada kita.....hatiNya selalu menunggu kehadiran kita.
Masa depan super
Pelayanan super
Keluarga yg super adalah bagian yg Allah siapkan untuk kita yang memilikiNya. Amin




Dilarang menambang Emas diarea Pelayanan

Mendapatkan sesuatu dalam melayani bukanlah sesuatu yg salah
Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Lukas 9:58). 
Pengabdian pelayanan yg murni tidak menuntut APA yg harus diterima tetapi BAGAIMANA seharusnya dilaksanakan. 


Bagaimana pengadian pelayanan harus ditampilkan?


A. TIDAK TERIKAT DENGAN MATERI 


Tuhan Yesus hendak menjelaskan bahwa Dia sebenarnya tidak memiliki apa-apa secara duniawi. Dia adalah Anak Allah yang mulia dan berkuasa, tetapi sekaligus Anak Manusia yang memilih hidup miskin secara materi. 
Jadi Komitmen untuk mengikut Kristus jauh dari harapan kita untuk memasuki zona nyaman dengan berlimpah berbagai fasilitas yg memakmurkan.


Bilamana seseorang mau mengikut Kristus, berarti dia harus bersedia untuk tidak terikat dengan apapun secara duniawi sehingga dia mampu berjalan bersama dengan Kristus tanpa halangan. Sebab halangan atau hambatan utama bagi banyak orang untuk mengikut Kristus adalah mereka seringkali ingin memiliki banyak hal dan terikat dengan semua hal, sehingga  tidak mampu terarah secara penuh kepada jalan yang ditempuh oleh Tuhan Yesus.
B. BERSEDIA DITOLAK WALAUPUN MELAKUKAN KEBENARAN

Jawaban Tuhan Yesus yang berkata: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Luk. 9:58) 
juga hendak mengingatkan bahwa Dia sebelumnya telah ditolak oleh orang-orang Samaria ketika Dia hendak melewati daerah mereka (Luk. 9:52-53). Jadi tindakan mengikut Dia berarti bersedia untuk ditolak oleh sesama tanpa harus menjadi marah dan tersinggung. Sebab kedua murid Tuhan Yesus, yaitu Yakobus dan Yohanes berkata dengan marah ketika orang-orang Samaria menolak mereka melewati daerahnya, sehingga mereka berkata: “Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” (Luk. 9:54). 

Bukankah kita juga seringkali bersikap seperti kedua murid Tuhan Yesus tersebut, yaitu kita menjadi marah manakala kehadiran dan karya pelayanan kita ditolak oleh sesama? Karena itu kita kemudian mohon agar Tuhan menjatuhkan hukuman dan murkaNya kepada orang-orang yang membenci dan menolak ajaran iman Kristen dan pelayanan gerejawi. 

Jadi makna mengikut Kristus berarti kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang kaya dengan pengampunan kepada setiap orang yang melawan dan yang membenci kita. Sebab mengikut Kristus berarti kita menjadi orang-orang yang kaya dalam spiritualitas dan kasih, walau mungkin kita hidup serba miskin dan penuh kekurangan secara duniawi.  

Apa artinya kita mengikut Kristus dengan memiliki kekayaan yang sangat berlimpah, tetapi ternyata spiritualitas dan kasih kita sangat miskin?

Apabila prinsip teologis ini diabaikan, maka yang timbul dalam pikiran banyak orang untuk memahami makna mengikut Tuhan Yesus hanya diartikan sebagai tindakan mengikuti Dia dalam kemuliaanNya ke sorga saja. 
Bukankah banyak orang Kristen saat ini masih menghayati makna mengikut Tuhan Yesus hanya untuk  menginginkan berkat serta kemakmuran, tetapi melupakan untuk mengikut Dia dalam penderitaan, kematian dan kebangkitanNya? 
Sehingga tidak mengherankan jikalau mereka beramai-ramai dengan sikap yang antusias berkata: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi”. Keinginan dari murid Yesus tersebut seakan-akan sangat rohani dan setia, sebab dia akan “mengikut Yesus ke mana saja Dia pergi”. Padahal dia tidak menyadari bahwa mengikut Tuhan Yesus berarti dia harus siap dan bersedia untuk menderita, ditolak, dihina dan hidup dalam kekurangan materi. 
Upaya Menghindar Untuk Mengikut Kristus
Apabila orang pertama menyatakan ingin mengikut Tuhan Yesus ke mana saja Dia pergi tetapi dengan pemahaman teologis yang salah, maka kepada orang kedua, Tuhan Yesus berkata memanggil dia, yaitu: “Ikutlah Aku!”                                                                                               Tetapi ternyata orang kedua tersebut berkata: “Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku” (Luk 9:59). Perkataan orang kedua tersebut sepertinya menggemakan kesetiaan dan kepedulian seorang anak kepada orang-tuanya di Sepuluh Firman, yaitu: “Hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu” (Kel. 20:12). Bagi orang-orang Tionghoa, ungkapan orang yang berkata: “Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku” dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang “u-hau” (anak yang sangat berbakti). Karena anak yang berbakti sangat peduli dengan keadaan orang-tua, apalagi jika orang-tua mereka meninggal. 

Padahal di balik alasan yang sangat rohani itu, sebenarnya tersirat suatu penolakan halus bahwa dia  tidak dapat mengikut Kristus selama ayahnya masih hidup. Jadi selama ayahnya masih hidup, dia tidak  dapat mengikut Kristus dan menjadi muridNya. Sebab mungkin ayahnya sebagai pemeluk agama Yudaisme yang taat saat itu tidak percaya dan menolak Kristus.


Pemuda tersebut menolak ajakan Tuhan Yesus karena dia tidak ingin melukai hati ayahnya. Tepatnya dia akan mengikut Kristus kelak setelah ayahnya meninggal dan dikuburkan. Halangan dia untuk mengikut Kristus adalah “kasih” yang begitu besar kepada ayahnya, sehingga dia memutuskan untuk tidak mengikut Kristus sementara waktu. 
Padahal mengikut Kristus berarti sikap seseorang yang bersedia mengasihi Kristus lebih dari pada segala sesuatu termasuk kasih kepada ayah-ibu, kakak dan adik bahkan keluarga (bandingkan Mat. 10:37-38). 
Selama kita masih terikat dengan berbagai kepentingan keluarga dan menjadikan kepentingan keluarga tersebut sebagai fokus yang utama dan mutlak, maka kita tidak mungkin dapat mengikut Kristus. Jawaban Tuhan Yesus sungguh tajam kepada mereka yang menjadikan kepentingan keluarga sebagai yang utama dan menentukan, yaitu: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana” (Luk. 9:60).
Bila Keluarga Lebih Dominan Daripada Kristus


Nada yang hampir sama juga diungkapkan oleh orang ketiga dalam hal mengikut Tuhan Yesus. Dia berkata kepada Tuhan Yesus, yaitu: “Aku akan mengikut Engkau, Tuhan, tetapi izinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku” (Luk. 9:61). 
Orang ketiga tersebut tampaknya mengalami kesulitan untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan yang sangat pribadi dalam mengikut Tuhan Yesus. Itu sebabnya dia terlebih dahulu minta persetujuan dari keluarganya. Dia tidak dapat   mengambil keputusan sendiri, sebab keluarganya yang selalu memutuskan arah atau jalan hidup dan keputusan yang harus dia ambil. Karena itu orang ketiga tersebut sebenarnya tidak memiliki kematangan spiritualitas yang siap mengikut Kristus dengan segala konsekuensinya. 
Itu sebabnya Tuhan Yesus memberi jawab: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Luk. 9:62). Seorang yang matang secara rohani dan iman akan senantiasa mampu melihat ke masa kini secara realistis dan mampu memprediksi masa depan. Dia tidak menjadikan masa lalu hidupnya sebagai satu-satunya dasar pijakannya untuk mengambil keputusan untuk mengikut Kristus.
Seorang psikolog bernama Gordon Allport (1897-1967) berkata: “Orang-orang yang sehat tidak didorong oleh trauma-trauma dan konflik masa kanak-kanak. Sebaliknya mereka dibimbing dan diarahkan oleh masa sekarang dan oleh intensi-intensi ke arah masa depan dan antisipasi-antisipasi masa depan”. Gagasan utama dari Gordon Allport tersebut adalah perlunya setiap orang mengembangkan kematangan kepribadian dan spiritualitasnya yang tidak didorong oleh trauma dan konflik di masa kanak-kanak. Sebab seorang yang sehat kepribadiannya pada prinsipnya memiliki sifat kemandirian diri untuk mampu menentukan sikap dan keputusan. Seorang yang sehat dan matang secara rohani  tidak akan terpengaruh oleh pengalaman masa lalunya.  Sebaliknya dia akan terus-menerus didorong oleh maksud atau intensinya ke masa depan. Dalam pengertian tersebut,  apakah orang ketiga tersebut kini sungguh-sungguh mau merespon panggilan Kristus yang berbicara kepadanya, dan dengan penuh kesadaran diri dia mampu memutuskan untuk mengikut Dia dengan segala konsekuensinya?Apalagi saat kita harus menentukan sikap untuk mengikut Kristus. Semakin kita mengenal jati-diri Kristus dan hakNya sebagai Anak Allah yang maha-tinggi, maka paradigma dan tolok ukur penilaian terhadap kehidupan ini akan berubah secara total. Sebab di hadapan Kristus, segala sesuatu menjadi serba relatif. Semula keputusan keluarga menjadi suatu keputusan yang mutlak dan menentukan hidup kita, tetapi setelah kita mengenal Kristus lebih dalam maka Kristus saja yang memiliki wewenang dan otoritas yang paling menentukan dalam kehidupan kita. Apakah ini berarti kita mengabaikan dan memandang remeh aspirasi dan harapan keluarga? Sama sekali tidak! Sebab saat kita menjadikan Kristus sebagai dasar  dan tolok ukur yang paling dominan, maka sebenarnya kita menempatkan Kristus untuk menguduskan setiap keputusan dan kehendak dari keluarga kita. Selain itu ketika kita terus menengok ke belakang atau masa lalu, maka kita tidak pernah dapat mengikut Kristus karena kita tidak memiliki visi hidup yang jelas dan bernas.
Jika demikian kita perlu bertanya dengan jujur, apakah saat ini kita sungguh-sungguh telah mengikut Kristus dalam arti yang sesungguhnya? Apabila kita telah mengikut Kristus, apakah kita telah menjadikan Dia sebagai pusat dan orientasi serta tujuan hidup kita yang sesungguhnya? Jadi apakah kita rela dan ikhlas untuk menanggung semua risiko dan konsekuensi yang pahit dalam mengikut Kristus? Bahkan apakah kita tetap mau mengikut Kristus, walau mungkin orang-orang di sekitar kita menolak pelayanan dan kasih kita? Karena itu, apakah kita sungguh-sungguh ikhlas dengan penolakan atau perlawanan dari orang-orang tersebut tanpa harus membuat kita marah dan membalas yang jahat? Ataukah sikap kita dalam hal mengikut Kristus masih bersyarat, yaitu kita mau mengikut Kristus karena kita mengharapkan banyak berkat dan rezeki dalam kehidupan kita? Ataukah kita mengikut Kristus sebenarnya bukan didasari karena kemauan dan keputusan kita sendiri, tetapi karena ditentukan oleh orang lain dan keluarga kita? Jadi bagaimana sikap dan respon saudara untuk mengikut Kristus setelah mendengar firman Tuhan ini? Marilah kita sebagai umat Allah menjadi pengikut yang setia kepada Tuhan Yesus di tengah-tengah kehidupan yang saat ini telah mengabaikan kesetiaan dan kasih. Lebih dari pada itu jati-diri kita harus semakin diterangi dan dikuduskan oleh Kristus, sehingga kredibilitas dan integritas kita semakin kokoh dan tidak diragukan oleh siapapun. Pastilah tindakan kita mengikut Kristus akan menginspirasi dan mendorong banyak orang atau sesama untuk juga mengikut Kristus. Bagaimanakah sikap saudara? Amin.

Selasa, 19 Juli 2011

Pelayanan Jago Kandang

Sejauh menyangkut wawasan keilmuan, pelayanan dipersiapkan dengan pendidikan yg matang. Tanggungjawab pelayanan tidak diserahkan kepada orang tanpa selektifitas. Dibutuhkan kompetensi akademis, karakter dan pengalaman lapangan. Hanya mereka yg terpanggil saja yg dapat terlibat didalamnya. 
Namun benarkah dedikasi para pelayanan Tuhan memiliki identitas dan kualifikasi tanggungjawab yg sedemikian nyata menurut kebutuhan umat?
Tuhan Yesus dengan terus terang menyebutkan predikat para pelayan Tuhan sebagai mereka yg seharusnya berdiri pada barisan paling depan dalam teladan perbuatan belas kasihan tetapi justru mereka mencari dalih kesibukan ritual dan peraturan agama sebagai alasan pembenar sikap apatisnya terhadap sesamanya.


Sikap kritis Tuhan Yesus yg bernada satire (sindiran) bermaksud meletakkan kembali dasar pengabdian pelayanan kita yg relevan dengan tuntutan pelayanan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan pribadi atau profit oriented.


Allah memanggil kita bukan menjadi Pelayan JAGO KANDANG, yg memukau secara hebat diatas mimbar dengan sederet gelar akademis namun tidak bernyali ketika berhadapan dengan persoalan sehari-hari orang-orang yg kita layani.


Bagaimanakah mengkondisikan pelayanan semakin lugas dan efektif sehingga memberkati banyak orang?
I. Letakkan Pelayanan sebagai DEDIKASI lebih dari PROFESI


Menyandang predikat sebagai "Ahli Torat, orang Lewi, Imam" menjelaskan posisi, keahlian dan tanggungjawab kepemimpinan rohani namun realitanya tampilan hidupnya sangat jauh dari kebenaran yg diajarkannya sendiri. 


Terhadap pertanyaan ahli Taurat tersebut Tuhan Yesus tidak segera memberi jawaban langsung tentang: “Siapakah sesamaku manusia?” Tetapi memberi perumpamaan tentang seorang laki-laki Yahudi dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho yang dirampok, dianiaya dan dibiarkan tergeletak di jalan. 
Ketika seorang Imam lewat di jalan itu, dia hanya melihat dan tidak memberi pertolongan. Ketika seorang Lewi lewat, dia juga hanya melihat orang malang tersebut dan tidak berbuat sesuatu. 
Tak lama kemudian datanglah seorang Samaria yang lewat di jalan itu. Ketika dia melihat pria Yahudi yang malang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Karena itu dia segera membalut luka-luka pria Yahudi tersebut. Dia  memberi obat dengan minyak, kemudian orang Yahudi tersebut dibawa ke tempat penginapan agar pria yang malang tersebut dapat memperoleh pengobatan dan perawatan yang lebih baik. Sebelum pergi melanjutkan perjalanannya, orang Samaria tersebut menyerahkan uang 2 dinar kepada pemilik penginapan sambil berkata: “Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk. 10:35). 


Paradok yg digambarkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan bukanlah fantasi yg dibesar-besarkan Tuhan Yesus namun diambil dari kehidupan umat secara nyata.
Sebagai ganti pertanyaan: “Siapakah sesamaku manusia?” yang telah diajukan oleh ahli Taurat, Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu adalah sesama  manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). 
Pertanyaan Tuhan Yesus tersebut kemudian dijawab oleh ahli Taurat, yaitu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (Luk. 10:37). 
Perhatikanlah bahwa ahli Taurat tersebut tidak segera memberi jawab yang jelas tentang SUBYEK yg ditanyakan, tetapi dia hanya menyebut “predikat” atau jenis perbuatan atau tindakannya yang berbelas kasihan. 
Sebenarnya pertanyaan Tuhan Yesus juga dapat dijawab oleh ahli Taurat, dengan jawaban: “Orang Samaria, karena dia telah menunjukkan belas kasihan  kepada orang Yahudi yang malang tersebut”. 


Alasan Ahli Taurat tersebut enggan menyebut nama orang “Samaria”:


a. Alasan teologis:
Bangsa Yahudi menganggap diri lebih benar dari bangsa lain. Orang Samaria yg disebutkan Tuhan Yesus bukanlah umat pilihan Allah tetapi golongan orang kafir,  bukanlah umat pilihan Tuhan yang hidup benar.  

b.Alasan Emosional:
Mereka (Imam dan orang Lewi) merasa terhakimi oleh sikapnya sendiri yg seharusnya mampu memperlihatkan kasih Allah justru gagal untuk menjadi sesama bagi pria Yahudi yang sebenarnya satu etnis dan satu agama. 


c.Alasan Yuridis:
Mereka berdua sebagai pempimpin umat ternyata lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Mereka enggan memberi pertolongan karena mereka tidak ingin menjadi najis, mungkin beranggapan bahwa orang Yahudi yang malang itu telah mati (Bilangan 19:11-13). 


Sebaliknya orang Samaria yang sebenarnya sedang bermusuhan dengan orang Yahudi lebih tergerak oleh belas-kasihan, segera bertindak menolong serta menyelamatkan nyawanya. Orang Samaria tersebut mengabaikan masalah perbedaan etnis, latar-belakang agama yang berbeda, dan situasi permusuhan yang ratusan tahun telah terbentuk dengan orang-orang Yahudi. Dia sekarang hanya tahu bahwa di depan matanya terdapat seorang pria yang sedang mengalami penderitaan dan membutuhkan pertolongan segera.  Dia mengambil keputusan untuk menghentikan perjalanannya dan membawa orang Yahudi tersebut ke tempat perawatan. 


Jadi lingkup kepercayaan orang Samaria tersebut ternyata lebih luas dan lebih konkrit dari pada spiritualitas Imam dan orang Lewi. Sebab spiritualitas Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan Tuhan Yesus  tersebut hanya mampu tampil dalam kegiatan ritual ibadah, tetapi mereka gagal untuk mengaplikasikan kasih Allah dalam kehidupan nyata.
II. Letakkan Pelayanan sebagai Kehormatan lebih dari Kewajiban (ayat.25,29)


Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
Betapa misikin dan kering kehidupan yg selalu dibatasi oleh aturan "boleh atau tidak boleh" ; melakukan "hak atau kewajiban". 
Menikmati hidup untuk peraturan bukan menjadikan peraturan sebagai instrumen kehidupan menjadikan seseorang hanya mencari ruang untuk mendapatkan kebebasan yg sesungguhnya.
Konsep yg sudah mengakar adalah memperoleh kehormatan dari pelayanan, mendapat perlukuan istimewa dari orang lain. 


Tuhan Yesus mengubah paradigma pelayanan kita yg legalis dan dogmatis namun tidak relevan dengan kinerja iman yg nyata. Saat kita membaca dan  merenungkan kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sering timbul perasaan tidak simpati kepada tindakan tokoh Imam dan orang Lewi, dan pada pihak lain timbul sikap simpati kita kepada tokoh orang Samaria yang baik hati itu. Padahal dalam praktek hidup sehari-hari termasuk dalam kehidupan jemaat, kita justru sering mempraktekkan tindakan dari tokoh Imam dan orang Lewi. 
Bukankah pola spiritualitas kita cenderung menganut “ideologi” ahli Taurat yang bertanya kepada Tuhan Yesus: “Siapakah sesamaku manusia?” Membenarkan diri dengan anggapan telah melakukan kewajiban, menegakkan aturan dan tuntutan agama.


Benarkan para imam, orang Lewi, dan ahli torat sesunguhnya adalah mereka yg taat menegakkan kebenaran?


Dalam pertanyaan itu sebenarnya mengandung tindakan yang mengklasifikasikan manusia, yaitu siapakah yang termasuk sesamaku, dan siapakah yang tidak termasuk sebagai sesamaku. Bagi orang-orang Kristen, arti “sesamaku” sering dimengerti sebagai setiap orang Kristen khususnya mereka yang satu gereja atau satu denominasi dengan kita. 
Jadi arti “sesama” di sini dipakai untuk menunjuk kepada orang-orang yang berada dalam lingkup agama, kepercayaan, dan keyakinan, atau etnis yang sama. Sedang mereka yang tidak seagama, seiman, satu kepercayaan dan keyakinan bahkan mereka yang berbeda suku dan etnis tidak dianggap sebagai sesama. Akibat dari pemikiran ini adalah munculnya sikap kompartementalisme terhadap sesama sehingga kita membuat berbagai kelompok sesama dalam beberapa “laci” yang semakin kecil. Klasifikasi sesama dibagi-bagi dalam kelompok kekayaan, kedudukan, etnis, ras, tingkat pendidikan, gender, aliran, dan sebagainya. Selain itu sikap kompartementalisme juga melahirkan “anak” yang bernama primordialisme. Sikap primordialisme, merupakan suatu sikap yang hanya mengagung-agungkan agama dan kepercayaan/keyakinan kita sendiri, menonjolkan superioritas aliran dan denominasi sendiri, serta dukungan yang membabi-buta terhadap suku, etnis dan kelompok kita sendiri. Motto paham “primordialisme” adalah: “Right or wrong is …… (my religion/my tribe/my nation/my country/group)”. Apapun yang dilakukan oleh “lingkaran diri” kita tersebut selalu benar.


Jadi pertanyaan ahli Taurat yang berkata: “Siapakah sesamaku manusia” merupakan benih-benih dari sikap yang primordialisme dan paham eksklusivisme yang hanya memilah-milah manusia berdasarkan kriteria agama, kepercayaan, keyakinan, suku, etnis atau ekonomi, politis dan kelompok. 
Lukas 10:30-37 Tuhan Yesus menunjukkan bahwa tokoh orang Samaria yang sebenarnya telah menjadi musuh bagi orang Yahudi selama ratusan tahun justru  berhasil menjadi sesama bagi musuhnya. Orang Samaria tersebut tidak terjebak dalam sikap eksklusif dan primordialistik. Kemurahan hatinya mengalir jernih menembus batas-batas kesukuan, etnis dan agama serta kondisi  permusuhan yang kronis. Yang sangat mengherankan justru sikap dari tokoh Imam dan orang Lewi dalam kasus ini. Walaupun mereka satu etnis dan satu agama dengan pria Yahudi yang malang itu, ternyata mereka sama sekali tidak tergerak oleh belas kasihan dan tidak melakukan tindakan apapun untuk memberi pertolongan. Sebab mungkin bagi tokoh Imam dan orang Lewi makna dari sesamanya adalah hanya orang-orang yang “satu level” atau “satu status” dan “satu kedudukan” dengan diri mereka. Sebaliknya orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan sosial yang sama walaupun satu etnis dan satu agama dengan mereka, oleh mereka tetap dianggap bukan sebagai sesama. Pengklasifikasian terhadap sesama akan mendorong kita untuk semakin jauh membagi-bagi sesama dalam kelompok yang lebih kecil sampai kita tidak  lagi memiliki seorang sesama-pun yang menjadi sahabat kita.