Minggu, 31 Oktober 2010

Tujuh Karakter Sukses yang Sejati

oleh: Pdt. Eddy Fances, D.Min.

Sebagai seorang yang telah ditebus oleh Kristus dan ditempatkan dalam dunia ini, seharusnya kita berpikir bahwa Allah memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupan kita. Tujuan yang termulia adalah agar kita semua dapat mencerminkan "gambar dan rupa Allah" yang telah dipulihkan dalam Kristus. Dengan kata lain, kita akan berfungsi maksimal dalam hidup dan pelayanan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya; yaitu mencapai "kesuksesan" menurut definisi dan ukuran Allah sendiri.



Sukses menurut definisi Allah adalah adalah sukses yang dicapai ketika di dunia ini, dengan melakukan kehendakNya, dan pada saat kematian nanti, kita disambut oleh Tuhan Allah dengan berkata: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." (Matius 25:21&23). Tidak ada kesuksesan yang melebihi pujian ini, bukan? Saya yakin tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak merindukan pujian langsung dari Allah yang Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Baik an Maha Besar itu. Dua bagian Firman Tuhan di atas memberikan kita fondasi dalam hidup dan pelayanan yang sungguh sukses di mata Tuhan dan di mata manusia. Sungguh benar, dari pihak Tuhan, Dia menjanjikan kesuksesan yang sejati sebagai sesuatu yang dapat dicapai, nyata, dan sungguh membahagiakan. Sedangkan dari pihak kita, manusia, dituntut tanggung jawab yang baik dan setia dalam menggunakan apa yang sudah dipercayakan kepada kita. Tentunya hal ini akan berhasil jikalau kita bersandar penuh kepada Firman Tuhan, yang adalah satu-satunya standard iman, moral, dan aktivitas kita sehari-hari.

Sekali lagi saya ulangi, sukses bukan soal kekayaan, bukan soal sex, bukan soal kuasa, bukan soal kesehatan, bukan soal tercapainya sebuah cita-cita, bukan soal nomor satu, bukan soal bebas dari permasalahan. Bukan. Bukan soal sesuatu yang bersifat materi yang fana, melainkan sesuatu yang bernilai kekal; namun bisa dicapai ketika masih di dunia ini. Inilah anugerah yang besar. Dengan karunia yang Tuhan titipkan kepada kita ketika masih hidup di dunia dengan waktu yang terbatas dan fana ini, kita diberikan kesempatan untuk menghasilkan sukses yang bersifat kekal, tidak terbatas dan baka. Fondasi kesuksesan ini sesungguhnya bukan bersifat eksternal, melainkan internal. Bukan soal materi atau sesuatu lain yang lahiriah; melainkan lebih soal batiniah. Soal karakter yang internal, namun bisa dinyatakan dalam hidup dan pelayanan yang eksternal dan nyata. Selanjutnya saya akan membagikan tujuh karakter utama sukses yang sejati, yang merupakan modal utama dalam membangun sukses di dunia dan di akhirat.



1. Integritas
Sebagian orang sukses di dunia ini dikenal dengan ketidak-jujurannya. Sebagian lagi sungguh telah mengkombinasikan kesuksesan dan kejujuran. Kita harus berani jujur dan berpegang pada kebenaran dan prinsip walaupun kadangkala merasa dirugikan. Integritas sebenarnya jauh melampaui apa yang disebutkan sebagai kejujuran. Integritas adalah sebuah karakter yang di dalamnya terdapat hati yang tulus, jujur, berani membayar harga atau mengambil resiko demi mempertahankan kebenaran, kebaikan dan keadilan. Integritas juga mencakup semua aspek kehidupan secara utuh dan satu. Tidak ada karakter yang lebih penting daripada sebuah integritas karena ia merupakan modal utama untuk mencapai kesuksesan baik dalam hidup, karier, pelayanan, dan dalam membangun relasi dengan sesama manusia. Setiap orang yang sudah percaya kepada Kristus ibarat ciptaan yang baru dalam Kristus yang akan tarus dibentuknya agar mencerminkan karakter Tuhan sendiri. Dengan demikian dunia akan melihat refleksi Kristus dalam diri orang percaya. Rasul Paulus menuliskan Firman Tuhan, "Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2Kor. 5:17).

Tahukah Saudara bahwa piano yang paling baik dan mahal harganya adalah piano Steinway? Keberhasilan piano ini duduk pada tingkat paling atas karena pembuatannya yang unik dan khusus. Lebih kurang 143 tahun yang lalu Henry Steinway menyewa 200 orang seniman dan para ahli di bidang perkayuan untuk dikombinasikan dalam pembuatan piano Steinway yang pertama. Mereka berhasil membuat bagian-bagian dari piano itu yanag terdiri dari 12.000 potongan. Bagian yang paling penting dan sulit adalah proses pembuatan bagian yang melengkung dengan menyatukan 18 lapisan kayu 'maple' yang panjangnya kira-kira 7 meter; lalu ditekan dengan tekanan tinggi dan dilengkungkan dengan mesin yang khusus dalam suhu tertentu. Proses ini menghasilkan bentuk dari sebuah "grand piano" yang diisi dengan tali senar piano yang panjangnya bervariasi. Selanjutnya harus digosok dan dipernis dengan kualitas yang terbaik sebanyak lima lapisan yang kesemuanya dikerjakan dengan tangan, agar bisa menghasilkan piano yang berkilauan penampilannya. Setelah itu dimasukkan dalam Ruangan Pemukul di mana 88 kunci piano dikerjakan secara teliti dan diuji sampai 10.000 kali untuk kemudian dipasang dengan sangat hati-hati sehingga hasil akhirnya sungguh-sungguh halus dan sempurna tanpa cacat.

Ibarat piano Stenway yang terkenal dan mahal harganya karena 'integritasnya' yang tinggi, demikian pulalah orang yang sukses di dunia dan di akhirat memiliki intergritas yang tinggi, yang mencerminkan kehidupan dan pelayanan Kristus di dunia ini. Janganlah Anda pernah 'menjual' integritas Anda dengan harta kekayaan walalupun jumlahnya sebesar bola dunia. Ibarat Yudas Iskariot yang menjual Tuhan Yesus dengan 30 keping perak dan akhirnya gagal dan mati bunuh diri, demikianlah orang yang tidak berintegritas suatu saat akan terjatuh dan gagal total.


2. Disiplin
Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari berapa banyak sumber alamnya. Lihatlah Jepang yang penuh dengan tanah bergunung batu dengan sumber alam yang amat minim. Namun ia menjadi negara yang sangat sukses dalam teknologi, ekonomi, dan industri, bahkan dalam pertanian modern. Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari usianya. Lihatlah Australia, Canada, dan Amerika yang usianya jauh lebih muda dari India dan Mesir. Namun negara tersebut jauh lebih maju dan sukses dibandingkan dengan India dan Mesir. Kesuksesan sebuah negara tidak tergantung dari luas wilayahnya. Lihatlah misalnya Singapura dan Swiss yang sempit, namun banyak orang kaya yang menyimpan tabungan mereka di negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Kita memiliki wilayah yang luas dan sumber alam yang berlimpah, namun dapatkah Indonesia digolongkan sebagai negara sukses? Mengapa negara-negara yang kita sebutkan diatas bisa disebut sukses? Apa rahasianya? Kata kuncinya adalah disiplin. Ya. Disiplin dalam banyak hal – penggunaan waktu, energi, hukum, pendidikan, dan berbagai aspek lainnya.

Untuk sukses kita harus bekerja lebih rajin dan lebih keras. Jikalau kita bangun lebih pagi satu jam dari biasanya setiap pagi, kita akan memiliki 365 jam setahun lebih daripada orang lain untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih baik, efektif, kreatif, dan produktif. Untuk berdisiplin seseorang perlu membayar harga dengan "memaksa diri" terlebih dahulu hingga akhirnya menemukan bahwa disiplin itu adalah sebuah harta yang perlu dikejar dan dijalankan dengan baik dan teratur daripada sesuatu yang ditunggu-tunggu. Tentunya sekali lagi, harus ada keseimbangan yang baik dan bijaksana. Bukan asal kerja keras, ngotot, dan memaksa diri yang mengakibatkan dampak-dampak yang negatif. Sebenarnya hidup disiplin itu tidak harus hanya dalam bekerja dan berproduksi. Dalam hal-hal lain yang membuat rileks pun, disiplin tidak kalah pentingnya. Misalnya: waktu untuk keluarga, olah raga, piknik, dan lain sebagainya. Orang yang menjaga disiplin secara seimbang dalam semua aspek hidup ini akan mendapatkan kesukesan secara seimbang pula.

Saya mendengar kesaksian tentang Johan (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda Kristen yang setia beribadah, hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya, dan setia melayani Tuhan dalam Komisi Sekolah Minggu Anak-Anak. Suatu hari ia ditawari pekerjaan baru dengan gaji dua kali lipat plus bonus mobil baru dan rumah dinas. Tanpa berpikir panjang Johan menerima tawaran pekerjaan baru itu dengan syarat bersedia msuk kantor jam berapa saja dan kerja lembur jika diminta oleh boss. Bulan pertama dijalani dengan baik dan normal. Bulan kedua bertambah sibuk karena jam kerja yang panjang plus sering lembur pada akhir pekan. Berulang kali janji yang sudah dibuat untuk acara keluarga dibatalkan. Istri dan anak-anak mulai merasakan kekecewaan. Bulan-bulan ternyata bertambah buruk karena hari Minggu juga sering dipakai untuk kerja lembur. Akibatnya ibadah Johan dan pelayanannya terganggu sama sekali. Mau tidak mau ia harus absen dari ibadah dan membatalkan pelayanan demi pekerjaan yang memang menghasilkan uang yang lebih banyak.

Apakah Johan dan keluarganya lebih bahagia dengan uang dan fasilitas yang lebih limpah? Tidak. 100% tidak. Istrinya sering merasakan kesepian karena Johan jarang sering pulang malam dan ke luar kota. Anak-anak merasa kehilangan tokoh ayah yang bisa diajak berkomunikasi, tempat meminta nasihat, bermain bersama, bersenda gurau, dan belajar bertumbuh dalam banyak hal. Johan sendiri merasakan kelelahan fisik karena volume kerja yang tidak normal dan kurang istirahat. Jiwanya terasa kering karena tidak ada waktu berdoa, membaca Firman, beribadah, bersekutu dan melayani. Hidupnya sesungguhnya hanya untuk bekerja dan bekerja dan bekerja tanpa mendapatkan kepuasan dalam aspek-aspek lainnya.

Akhirnya Johan sadar bahwa dirinya telah menjadi budak pekerjaan dan budak uang. Hidupnya telah dikontrol oleh uang yang telah menutup mata hati dan pikirannya sehingga ia kehilangan banyak berkat Tuhan dan kebahagiaan yang tidak mungkin dibeli dengan uang. Dengan hikmat dan kekuatan dari Tuhan Johan berani mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaan yang telah membuatnya "keluar dari jalur" sesuai dengan Firman Tuhan. Kini Johan dan keluarganya kembali menikmati hidup yang bahagia dan penuh berkat dalam segala aspek yang ada. Tuhan telah menyadarkannya hingga ia kembali ke jalur yang benar, yaitu jalur Tuhan.

Sekali lagi, disiplin yang menbuat seseorang lebih rajin dan lebih bekerja keras tentunya tidak sama dengan keserakahan yang tidak pernah puas dengan apa yang dikaruniakan Tuhan. Keserakahan dapat membuat orang lupa diri, disilpin menyadarakan seseorang akan keterbatasan dirinya. Keserakahan membuat orang tidak tahu bersyukur, disiplin membuat seseorang senantiasa rendah hati dan beryukur atas karunia Tuhan. Alkitab memberikan peringatan secara serius, "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (Ibr. 13:5a; 1Tim. 6:10). Orang yang sukses adalah orang yang memiliki disiplin dalam kerangka dan pagar kebenaran Firman Tuhan.


3. Cinta Kasih
Cinta kasih adalah karakter selanjtunya yang harus dimiliki seseorang yang nginhidupnya sukses di dunia dan akhirat. Cinta kasih ini bukan sembarang cinta kasih, namun cinta yang diterimanya dari Kristus yang sudah rela mati baginya diatas kayu salib di Golgota. Kasih yang rela berkorban, kasih yang tidak mementingkan diri, kasih yang membayar 'harga mahal', kasih yang ilahi, kasih yang tak bersyarat. Rasul Paulus menuliskan karakter kasih ini dalam suratnya kepada jemaat Korintus yang sedang berselisih dan bertengkar. Dia ingin mereka mengajar karakter ini sebagai 'alat' yang memulihkan luka-luka perselisihan dan membangun kembali hidup yang sukses dan berkenan kepada Allah. Dia sebutkan bahwa kasih itu, "sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan." (1Kor. 13:4-8a).

Cinta kasih yang sedemikian dapat menjadi alat yang memberikan kestabilan emosi kepada seseorang. Dengan demikian dia akan terhindar dari sifat keserakahan, pemarah, keras kepala, otoriter, dan kasar. Untuk mendapatkan cinta kasih ini, sekali lagi diulangi, seseorang harus terlebih dahulu mengalami cinta kasih Kristus dari Kalvari. Kasih Kristus itulah yang memotivasi, dan memacu emosinya untuk berbelas kasih dan berbuat kasih yang nyata kepada orang lain. Dengan senantiasa mengingat kasih Kristus yang dinyatakan-Nya di atas kayu salib, hati kita akan diluluhkan dan dibentuk agar menyerupai Kristus. Jikalau kita membangun relasi kita dengan orang lain dengan cinta kasih dari Kristus, pastilah kehadiran kita senantiasa menjadi berkat yang membangun semangat orang lain, dan mendorong orang lain untuk hidup dengan saling mengasihi. Hasilnya, kebencian, dendam, iri hati, marah, dan hati yang egois akan lenyap dan digantikan dengan sukacita, damai, dan kebahagiaan. Dengan demikian kesuksesan yang sejati akan tercapai dengan nyata pula.

Sekelompok anak muda yang menamakan diri "Ketupat Agape" (Kelompok Tukar Pendapat Agape) berkumpul bersama di senuah kolam renang sambil makan-makan dan berdiskusi. Topik diskusi sesuai dengan nama kelompoknya yaitu tentang "agape" (kasih ilahi). Si A memulai percakapan dengan menanyakan apa itu definisi kasih ilahi. Si B mencoba menjawab dengan mengatakan bahwa kasih adalah sebuah kata benda yang perlu dijelaskan secara vertikal. Si C meramaikan diskusi dengan mempersoalkan apakah perlu menjabarkan kasih secara vertikal atau horizontal, atau sirkular, dls. "Yang penting kan kasih itu sesuatu yang ada di dalam hati kita", lanjutnya dengan semangat. Si D menambahkan: "Bagi saya kasih itu yang penting bertujuan baik, lepas dari caranya bagaimana, definisinya apa, yang penting untuk kebaikan." Si E tak mau kalah. Dia menangkis: "Lho, tetapi kebaikan itu kan relatif dan subjektif. Ukurannya apa dong?"

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba seorang anak kecil yang kira-kira berumur 4 tahun terjatuh ke dalam kolam renang. Tangannya mengapai-gapai sambil mulutnya mulai meminum air. Si A berteriak: "Hei, anak siapa itu?" Si B menyahut: "Siapa yang pintar berenang?" Si C ikut berdiri namun hanya berteriak: "Panggil orang tuanya dong!" "Gawat, dia mulai tenggelam", kata si D sambil menunjuk kepada si anak. Tiba-tiba, "byuuurrrr." Salah seorang anggota ketupat melompat ke dalam kolam dan menolong sang anak dan membawanya ke pinggir kolam. Selamatlah dia dari ancaman maut. "Wow, siapa itu yang menolong?", tanya si E antusias. Ternyata dia bernama "Agapao", anggota ketupat yang sejak tadi belum bersuara dalam diskusi kasih, namun telah mempraktikkan kasih yang nyata. Kasih itu sesungguhnya adalah 'kata kerja' yang aktif dan dinamis. Bukan kata benda yang pasif dan mati.

Alkitab menyaksikan bahwa kasih Allah menjadi nyata ketika diberikanNya Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, menjadi pendamaian bagi dosa-dosa kita (baca: 1Yoh. 4:9-10). Demikianlah setiap orang kepunyaan Allah juga diperintahkan untuk mengasihi dengan kasih yang sudah diterima dari Allah. Yakni kasih yang aktif, dinamis, yang rela memberi bahkan berani berkorban, yang berani mengamnbil resiko, berani membayar harga yang mahal. Rasul Yohanes menuliskan, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih." (1Yoh. 4:18). Adakah sesuatu yang menghalangi Anda mempraktikkan cinta kasih dari Kristus untuk membangun, melayani, dan menlong orang lain? Kalahkan kekuatiran, ketakutan, dan keraguan Anda sekarang juga! Dan mulailah mengasihi secara nyata dan secara maksimal.


4. Fleksibel
Seorang yang sukses adalah seorang yang dapat membaca situasi, kondisi, dan tantangan dengan sigap. Selain itu ia dapat segera mengadaptasi, mengubah kondisi dan mengantisipasi segala hal dengan baik pula. Bagi dia perubahan itu baik, bukan menakutkan, asalkan sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Sesungguhnya orang percaya yang sudah ditebus Kristus akan menampakkan "perubahan" yang dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus dalam dirinya yang mengubahnya ke arah yang baik, benar, dan adil. Inilah yang disebut dengan "proses pengudusan." Selain itu dia juga berfungsi sebagai "agen perubahan" yang membawa dampak yang positif – baik, benar, dan adil bagi lingkungan dan sesamanya. Namun bukan secara paksa, melainkan secara fleksibel, yaitu: dengan arif, kreatif, efektif, dan produktif, tanpa harus mengorbankan Firman Tuhan (kebenaran) yang mutlak dan tidak berubah.

Fleksibel tidak sama dengan kompromi. Orang yang feksibel adalah orang toleran – artinya dia dapat menerima perbedaan pendapat dan perbedaan lainnya dari orang lain. Dia menghargai perbedaan, namun tidak harus menjadi "serupa" dengan orang lain. Orang yang kompromis adalah orang yang tidak memiliki pendirian dan prinsip kebenaran. Dia berubah-ubah sesuai "arus" yang ada. Dia bersedia menjual 'kebenaran' untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Orang yang fleksibel jelas harus toleran, namun tidak menjadi kompromis.

Coba perhatikan contoh cerita di bawah ini. Suatu kali seorang pejabat mencari seorang sekretaris pribadi yang akan membantu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Datanglah tiga pelamar yang mendaftarkan diri. Lalu diadakanlah wawancara. Si A masuk ke kantor sang pejabat. Lalu kepadanya diajukkan sebuah pertanyaan: "Berapa dua dikali dua?" Si A menjawab tegas dan sigap: "Empat pak!" Sang pejabat berkata dalam pikirannya: "Wah, orang ini tegas dan berwibawa, dia tidak bisa diajak kompromi. Pasti kelak akan merepotkan saya." Lalu dia berkata kepada A: "Kamu tidak diterima, keluarlah!" Lalu masuklah B dan ditanyakan pertanyaan yang sama: "Berapa dua dikali dua?" B berpikir sebentar: "Tadi A jawab empat tidak diterima." Kemudian dia menjawab: "Tiga pak!" Sang pejabat berkata dalam hatinya: "Wah, ini manusia licik, saya kelak bisa ditipunya!" Kemudian dia berkata kepada B: "Kamu tidak diterima, pulanglah!" Akhirnya masuklah si C. Ditanyakan pertanyaan yang sama. C berkata dalam hatinya: "A jawab empat ditolak, B jawab tiga juga ditolak." Lalu dia menjawab pejabat itu: "Terserah bapak sajalah. Asal bapak senang!" Sang pejabat berkata dalam hatinya: "Ini yang saya cari!" Akhirnya si C yang diterima.

Inilah salah satu contoh dunia kita sekarang. Dunia yang tidak mengenal Allah ingin kehidupan yang kompromistis, yang tanpa ukuran absolut, yang bisa sesuka-sukanya. Orang-orang sedemkian nampaknya seperti sukses, namun sesungguhnya sedang menuju ke lobang kegagalan yang mengerikan. Firman Tuhan mengingatkan kita bahwa seluruh hidup kita adalah milik Kristus, bukan milik sendiri atau milik dunia. Sebab itu kita tidak bisa sembarangan dengan hidup ini. "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1Kor. 6:19-20). Istilah "tubuh" di sini sama dengan seluruh aspek dalam hidup ini. Konsep yang sama diajukan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma. "Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna." (Rm. 12:1-2). Perubahan yang dimaksudkan di sini tentunya perubahan dalam kerangka dan pagar "kehendak Allah" yaitu yang baik, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah. Fleksibilitas yang membuat seseorang semakin mencerminkan refleksi hidup dan pelayanan Kristus.


5. Pantang Putus Asa:
Pantang berputus asa adalah sebuah karakter yang amat penting, berharga, dan amat menentukan dalam perjalanan sukses di dunia dan di akhirat. Suatu karakter yang percaya sepenuhnya kepada karya Allah yang Maha Baik dan Maha Bijaksana. Mereka yang sukses hari ini adalah mereka yang tetap bangun lagi setelah terpukul, terjatuh, dan gagal. Bagi mereka kegagalan atau kejatuhan senantiasa dilihat sebagai "jalan baru" menuju sukses, atau sebagai "batu lompatan" menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Bukan sebagai "batu sandungan" yang menjatuhkan dan mendatangkan keterpurukan tanpa dapat bangkit kembali. Bukan! Sebaliknya sebagai "alat pendidikan" yang mengajar dan menolongnya agar bisa maju dan sukses dengan lebih gemilang secara progresif dan dinamis. Orang yang pantang berputus asa tahu bahwa Allah akan memberikan kekuatan baru dan berkat baru sesuai dengan janji-Nya di dalam segala situasi dan kondisi. Walaupun menurut ukuran manusia, hal itu kurang menguntungkan, namun dengan mata iman dia melihat bahwa Allah dapat mengubahnya 180 derajat hingga menjadi sesuatu yang indah, baik, dan berhasil.

Alkitab menjelaskan kepada kita bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, dinamis, dan terus bekerja tanpa henti untuk membentuk anak-anak-Nya agar semakin menyerupai Kristus dalam seluruh aspek hidup dan pelayanan kita demi menjadi kemuliaan bagi NamaNya dan menjadi berkat bagi banyak orang. Dia tidak pernah menjanjikan bahwa seluruh proses perjalanan itu akan mulus, lancar, tanpa tantangan dan kesulitan. Tidak, melainkan dia menjanjikan untuk terus 'menambahkan energi-Nya' demi mendatangkan kebaikan bagi anak-anakNya. Perhatikan tulisan rasul Paulus, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara." (Roma 8:28-29). Ungkapan kunci dalam ayat diatas adalah, "Allah turut bekerja." Hal ini tidak berarti Allah turut mendatangkan penderitaan, kejatahan, dan kesulitan bila hal itu menimpa. Tidak! Karena pada diri Allah hanya ada natur kebaikan, kasih, dan kesucian. Segala yang jahat datangnya dari Iblis dan perbuatan dosa manusia. "Allah turut bekerja" berarti "Allah akan menambahkan energi-Nya" – kuasa-Nya, hikmat-Nya, karya-Nya, dan kasih-Nya – untuk mengubah yang tidak baik, yang gagal, yang terjatuh, dan penderitaan, dan kesusahan lainnya menjadi "kebaikan" bagi anak-anak-Nya yang mengasihi Dia. Ungkapan kedua yang penting dalam ayat diatas adalah "menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya." Ini menjadi tujuan akhir yang akan dicapai dlaam proses perjalanan hidup dan pelayanan orang-orang yang percaya. Mereka yang ingin hidup dan pelayanannya sukses di dunia dan dia akhirat akan berpegang teguh kepada janji Tuhan diatas untuk memimpin seluruh hidupnya.

KECEWA KEPADA ALLAH


Oleh: Pdt. DR. STEPHEN TONG


Dua hari yang lalu dalam suatu kesempatan yang baik, saya bertemu dengan dua orang saudara saya, Pdt. Dr. Caleb Tong dan Pdt. Dr. Joseph Tong. Saya menjemput mereka di bandara dan waktu di bandara seseorang datang kepada saya dan bertanya, “Pak Stephen ya?” Saya bilang, “Ya.” Kami berjabat tangan. “Anda ikut kebaktian di mana?” Saya bertanya padanya dan dia menjawab, “Ya, dulu pernah satu dua kali mendengar khotbah Pak Stephen Tong. Kemudian saya ke gereja-gereja yang lain. Sesudah itu keliling sini, keliling sana, tidak menetap.”Lalu saya bertanya, “Sekarang ke gereja mana?” Jawabannya, “Tidak ke gereja.” Saya bertanya, “Sekarang tidak ke gereja?” Dia merokok dengan satu tangannya ditaruh di belakang. Asap rokoknya terus mengepul seraya berbicara dan ngomong dengan saya. Saya rasa dia sudah melarikan diri dari Tuhan. Lalu saya bertanya, “Mengapa tidak ke gereja?” Dia menjawab, “Kecewa.” “Kecewa dengan siapa?” tanya saya. “Terus terang kecewa kepada Tuhan,” setelah mengatakan kalimat itu, dia lalu pergi.

Saya tidak habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah? Berhakkah manusia yang dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini yang menjadi pemikiran saya. Who are we? We think we deserve the right to claim we are disappointed by God. Siapakah kita yang berhak mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa terhadap Tuhan.”

Kalimat ini membuat saya memutar pikiran sepanjang satu hari itu. Theologi apakah ini? Theologi ajaran apakah yang mengajar manusia, sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan saya.” Kalau Allah mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, Allah berutang kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa. Kedua, Allah menipu saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa. Ketiga, Allah berjanji sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya kecewa. Tiga presuposisi ini, semuanya tidak memiliki dasar Alkitab. Allah tidak pernah berutang kepada manusia. Theologi yang benar mengatakan, manusia berutang kemuliaan Allah dan tidak bisa membayar sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang mengecewakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah menjanjikan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji itu adalah semacam tafsiran manusia dan "misleading" (penyesatan) dari orang yang salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berutang kepada saya, Allah tidak sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin menipu saya.

Jika demikian apakah penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya pengkhotbah-pengkhotbah yang memberikan tafsiran yang salah terhadap ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang percaya kepada Tuhan pasti dapat kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur di dalam materi. Yang percaya kepada Tuhan pasti tidak ada marabahaya, penyakit, kesulitan, dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan persembahan, Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara pernah mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam mimbar-mimbar gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap statement yang tidak benar, bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab Suci. Jadi ada ayat-ayat yang sepertinya mendukung statement itu, karena dimengerti secara fragmentaris, dan bukan secara totalitas. Karena mengambil ayat sebagian-sebagian lalu mengkhotbahkannya, sangat mungkin terjadi misleading bagi orang lain yang mendengarnya.

Kedua, pengertian yang tidak membandingkan antara satu ayat dengan ayat yang lain, mengakibatkan tidak diperolehnya prinsip total Kitab Suci. Mengambil suatu keputusan melalui bagian-bagian, lalu membuat statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara sebagai pengkhotbah, sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai pemberita kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.

Saya percaya, bukan dia saja, mungkin seluruh Indonesia berani mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.” Mungkin sudah puluhan juta orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada konklusi bahwa Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah berutang kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”

Tahun 1965, kalau saya tidak salah ingat, gunung Agung meletus di Bali. Lavanya mengalir begitu cepat, sehingga banyak orang yang tidak sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada waktu itu saya berada di Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya, “Pak Stephen, bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan cepat pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat foto-foto tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang tidur, lavanya datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang, dan separuhnya masih daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging dan tempat tulang itu, ada satu garis putih yang besar dan bengkak, seperti kulit babi yang digoreng jadi rambak/krupuk. Bagian yang terkena api panas itu langsung melembung. Satu bagian masih daging biasa, bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak. Meskipun saya mau muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu foto tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau menangis, sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa foto yang menggugah theologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira tiga meter lagi, dan dalam beberapa detik akan terkena lava, tetapi orang tersebut tidak lari, ia sedang berlutut berdoa kepada dewa. Waktu saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu beda dengan orang Kristen. Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia berani berdosa. Sedikit rugi, langsung mencaci maki Tuhan Allah. Mengapa orang kafir waktu mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka. Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka mengaku kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya sampai sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.

Pemikiran itu adalah, Why?...Why? ... What causes that? What causes it to be like that? Apa salahnya pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita, sehingga anggota kita selalu merasa dia sepatutnya menerima anugerah Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun oleh Tuhan, kalau tidak, Allah harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan akhirnya dia keluar dari gereja.

Lalu dari situ, pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of suffering, the theology of worship, the theology of understanding grace, theology of resistant to the tribulation. Berkembanglah begitu banyak pemikiran saya semenjak melihat 180 foto tersebut. Mengapakah orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan, meninggalkan gereja, keluar dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai, dibunuh dengan gas, dihancurkan hidupnya, enam juta setengah jiwa, di dalam holocaust, tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan mereka tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what's wrong? Apa yang salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu kalimat, “Kita lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral murah kasih Allah daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan adil, Dia akan menghakimi dosa seluruh dunia.”

Dari konklusi ini, pemikiran saya berkembang lagi, di manakah hamba-hamba Tuhan yang berani menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan Tuhan, kesucian Tuhan, untuk mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin lama semakin sedikit. Tetapi pendeta yang berusaha memberikan injil palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih banyak orang mendengar khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua penyakit akan disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pentakosta dan Karismatik sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang dilihat, orang akan beriman.

Namun hari ini saya akan menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama, Yohanes Pembaptis tidak pernah melakukan satu mujizat pun, namun banyak orang yang percaya melalui dia. Karena sifat lurus, jujur, berani, dan tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia berkhotbah dengan kuasa luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah melakukan satu mujizat pun, tetapi yang percaya karena dia banyak sekali. Kedua, Islam adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka melalui daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi. Pada zaman filsuf David Hume, one of the greatest scepticist in the history of human philosophy, ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang Kristen untuk membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang sah adalah tidak adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada agama Kristen dan dimuat di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan kekristenan justru dengan pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat dalam Kitab Suci orang Kristen, terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan. Maka memakai bukti bahwa Kristen ada mujizat maka Kristen itu sah, pada hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan bukti. Apakah yang dicatat dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi? Jadi dia menjadi scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the seeking of Christian foundation.

Orang Kristen pada zaman itu selalu memakai fondasi-fondasi yang salah yang sebenarnya bukan fondasi untuk membangun iman. Kalau kita membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat choi, property, kesuksesan sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka kita akan menciptakan orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan dengan kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan.” Saudara seharusnya mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab dalam pemberitaan firman, sehingga anggotamu selalu menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya jangan berutang kepada Tuhan, saya harus menepati apa yang saya janjikan kepada Tuhan.” Dan bukan berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu saya, apa yang Tuhan janjikan, tidak saya dapatkan, maka saya berhak melawan dan kecewa kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 39 – Maret 1999

ORANG KRISTEN DAN PENDERITAAN


oleh: Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.
Eksposisi Mazmur 73

Hari-hari ini, banyak orang Kristen bukan saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri mengalami kesulitan khususnya akibat bencana alam, terorisme dan krisis ekonomi. Pergumulan di negara Indonesia, banyak jemaat yang mengeluh dengan mahalnya harga komoditi akibat perubahan iklim sementara penghasilan tidak bertambah. Di tengah krisis demikian, pergumulan kita menjadi tidak gampang. Bagaimanakah seharusnya orang Kristen menghadapi pergumulan?
Di dalam Alkitab, ada tiga tokoh besar yang bergumul dengan penderitaan yakni Ayub, Pemazmur 73 dan Habakuk. Dalam ketiga orang ini, mempunyai kemiripan pergumulan sekalipun modelnya bervariasi tetapi yang pasti jawaban pergumulan, perubahan dan komitmennya sama. Inilah yang kita mau belajar, khususnya dari Mazmur 73.
Bagian pertama, dari pergumulan si Pemazmur, ia akhirnya menjadi berkat bagi orang lain. Inilah paling tidak satu dari sekian banyak maksud Tuhan dalam penderitaan supaya setelah kita mendapatkan jawaban, kita menguatkan orang lain. Dalam ayat 1, si Pemazmur mengatakan “sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya”. Di sini, menandakan bahwa ia telah selesai bergumul dan menang karena dalam penderitaan itu, ia tidak menghujat Allah dan mengatai Allah itu buruk atau jahat melainkan mengakui Allah itu baik. Selain Mazmur 73, memang inilah ciri khas seluruh kitab Mazmur. Sebagaimana dikatakan John Calvin, inilah kitab yang membuka anatomi jiwa, membuka anatomi perasaan manusia. Kitab yang sangat jujur.
Ada satu ciri khas yang diungkapkan oleh Martin Llyod-Jones yakni Mazmur seringkali dimulai oleh kesimpulan dari pergumulan. Seperti Mazmur 23, seluruh kredo pergumulan Daud disimpulkan, “Tuhan adalah gembalaku, tak akan kekurangan aku”. Demikian pula di sini, ia ingin memberikan kesimpulan kepada orang percaya yang membaca refleksinya, Allah itu baik, bagi mereka yang sungguh-sungguh mengikuti Tuhan.
Selain kesimpulan, ayat 1 juga merupakan undangan. Pemazmur seolah ingin berkata, “jika saudara adalah orang percaya yang sungguh bersih dan tulus hatimu, dan engkau menderita, Mazmur ini untuk saudara. Sebuah mazmur tentang kebaikan Allah. Sekalipun saudara menderita, Allah itu baik”.
Bagian kedua, dalam Mazmur ini kita belajar bahwa orang percaya pun bukan saja bisa bergumul tetapi bahkan penuh dengan pergumulan. Tidak usah kita heran akan hal ini, karena bukan rancangan kita melainkan rancangan Tuhan yang terjadi. Kadang kita berpikir bahwa seharusnya jalannya akan begini dan begitu tetapi Tuhan mempunyai cara pikir yang berbeda.
Bergumul bukan dosa. Tuhan Yesus sendiri bergumul, bahkan bergumul dalam pencobaan. Dicobai bukan dosa. Jatuh dalam pencobaan barulah dosa. Memakai terminologi Paulus, “habis akal” bukan dosa. Putus asa barulah sesuatu yang tidak benar (2 Kor. 4:8b). Jika saudara dalam bisnis, keluarga, pendidikan mengalami habis akal, itu bukan dosa. Jangan takut. Tetapi yang harus saudara lakukan adalah tetap berpengharapan, jangan putus asa.
Saya mencatat, sejumlah pergumulan si Pemazmur. Pertama, bergumul untuk mempertahankan hati yang bersih (ayat 13). Pergumulan ini tidak gampang karena di setiap detik dan setiap inci kehidupan, godaan untuk membengkokkan hati begitu banyak dan kuat, baik dari kedagingan dalam diri, dunia, setan, dan sebagainya. Kedua, bergumul untuk setia dalam kesulitan (ayat 14). Mempertahankan hati yang bersih satu hal tetapi mempertahankan hati yang bersih dalam penderitaan adalah hal lain. Jikalau kita mengatakan “orang ini setia tapi hidupnya susah” maka konotasinya negatif. Tetapi jika kita mengatakan, “orang ini hidupnya susah tetapi ia setia” maka konotasinya lebih positif. Dan kalimat pertamalah yang muncul ketika Lukas menggambarkan Zakaria dan Elizabeth, orang tua Yohanes Pembaptis. Mereka setia tetapi mandul, tidak punya anak. Dalam pergumulan demikian, seringkali ada perbandingan dari dalam diri dan dari orang lain antara setia dan sulit. Kedua kata itu seperti bertentangan, seperti air dan minyak, sulit bertemu.
Pergumulan Pemazmur ketiga, bergumul dengan kecemburuan ketika melihat orang faik yang maju (ayat 3). Susah untuk menerima bahwa mereka yang tidak setia, hidupnya lebih lancar. Ada beberapa gambaran obyektif yang dicatat oleh Pemazmur. Dalam ayat 4a dikatakan kesakitan tidak ada mereka. Dalam bahasa asli, adalah kesakitan maut. Maksudnya, si Pemazmur melihat bahwa ada orang jahat yang sampai matinya tidak mengalami penyakit. Mati tua bukan mati sakit atau mati celaka.
Dalam ayat 4b dikatakan sehat dan gemuk tubuh mereka. Tidak semua yang sehat dan gemuk itu fasik tetapi orang fasik biasanya sehat-sehat. Bagiamana kalau pencuri atau perampok tetapi menderita penyakit stroke. Sulit dinalar. Sebaliknya, banyak orang yang setia dalam Alkitab, hidup mereka sakit-sakitan seperti Paulus, Calvin, dan sebagainya. Dalam ayat 5a dikatakan mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Kasarnya, semua orang mengalami harga tempe dan terigu yang melambung tinggi, mereka tidak mengalaminya.
Ayat 8b dikatakan bahwa hal pemerasan mereka bicarakan dengan tinggi hati. Maksudnya, sudah dosa masih dibanggakan lagi. Ayat 12b dikatakan “mereka menambah harta benda dan senang selamanya”. Barangkali inilah gambaran yang paling menyakitkan. Orang jahat, penipu, yang bisnisnya kotor, semakin hari harta bendanya bertambah-tambah dan senang seterusnya. Sebaliknya, orang yang setia, ikut Tuhan, beriman, bisnisnya jujur, hidup bersih, malah harta benda semakin berkurang karena uang habis, tabungan habis, emas dijual, mobil dijual ganti sepeda motor, rumah yang besar dijual ganti yang kecil. Malah susah seterusnya.
Pergumulan Pemazmur yang keempat, bergumul mengalami cercaan dari orang fasik (ayat 3a, 8a, 9). Setia itu sulit. Setia dalam kesulitan lebih sulit. Setia dalam kesulitan dengan kecemburuan, tambah sulit. Sekarang, malah harus dengar caci maki. “Katanya ikut Tuhan, kok hidup susah”, “katanya anak Raja, kok ngontrak”, “katanya Allahnya yang empunya alam semesta, kok rumah saja tidak punya” dan seterusnya yang sangat menyakitkan dari orang fasik.
Pergumulan yang paling sulit dari semuanya adalah di dalam penderitaan orang setia, si Pemazmur melihat Tuhan diam dan tidak memberikan jawaban. Setidaknya kalau ia tidak mengasihi orang percaya, paling tidak mengadili orang fasik. Malah yang terlihat adalah Tuhan mengasihi orang fasik dan menghukum orang percaya, menulahi yang hatinya bersih (ayat 14).
Bagian ketiga, setelah pergumulan ini kita sekarang melihat jawaban yang diterima Pemazmur. Langkah pertama menuju jawaban adalah si Pemazmur menguasai diri. Seperti yang dinyatakan dalam 1 Petrus 4:7, kuasailah diri, jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa. Menguasai diri memang tidak menyelesaikan persoalan apapun tetapi setidaknya tidak menambah persoalan baru supaya tidak terjadi sudah jatuh, tertimpa tangga.
Menguasai diri berarti si Pemazmur tenang, tidak emosional dan sebaliknya berpikir. Istilah “seandainya” dalam ayat 15 menandakan bahwa si Pemazmur sedang berpikir. Prinsipnya, jangan ambil keputusan penting apapun pada waktu emosi. Jangan ambil keputusan putus pacar, pindah pekerjaan, pindah kota dan sebagainya sebab pada waktu emosi, sulit berpikir dengan tenang. Bagaimana mengatakan itu kehendak Allah jika tidak berpikir dengan akal sehat? Sebab kehendak Allah tidak pernah membuang akal sehat. Melampaui akal sehat ya. Tetapi, melampaui berarti sudah pakai akal sehat masih tidak cukup.
Selain itu, menguasai diri juga berarti, sebagaimana yang dilakukan Ayub, menjaga bibirnya agar tidak berdosa. Dalam ayat 15, si pemazmur sedang berpikir, jika ia mengucapkan kalimat kekecewaan maka ia akan mengkhianati angkatan anak-anak Tuhan. Lebih baik kita mendengar perkataan dari Yakobus, janganlah cepat bicara atau cepat marah tetapi cepat mendengar supaya setelah masalah selesai kita tidak menyesal karena pernah mengucapkan kalimat yang tidak enak (1:19).
Menguasai diri juga berarti menghitung konsekuensi. Ia sedang menghitung resiko-resiko kalau ia bicara demikian maka akan mengkhianati angkatan umat Tuhan. Pada waktu kita terjepit, kita diajar untuk menguasai diri sehingga menghitung resiko agar jangan salah melangkah. Bagaimana pun terjepit tetap harus menguasai diri untuk menghitung resiko.
Bahkan yang disebut menguasai diri adalah setidaknya sampai ayat 16, Si Pemazmur puas dengan kondisi menggantung, belum ada jawaban, tetapi ia tidak memaksakan diri untuk mengambil jawaban sendiri sesuai dengan keinginan sendiri. Sabar menanti jawaban Tuhan, itulah penguasaan diri orang percaya dalam pergumulan penderitaan yang berat.
Dalam ayat 17 dikatakan bahwa ia mendapatkan jawaban ketika masuk ke tempat kudus. Konteks waktu itu adalah bahwa firman Tuhan tidak didapatkan di rumah melainkan dengan berada di rumah ibadah. Ia masuk dan memperhatikan. Perhatikan istilah “memperhatikan” dalam ayat 17. memperhatikan kesudahan orang fasik berarti ia berkonsentrasi pada waktu mendengar firman. Banyak orang percaya, sayangnya, pada waktu mereka bergumul, mereka menjauhi firman baik menjauhi ibadah maupun saat teduh. Akhirnya mereka tidak mendapatkan jawaban dan kondisinya tambah buruk.
Memperhatikan firman Tuhan adalah jawaban mutlak dalam pergumulan penderitaan. Dalam Daniel 9, dikatakan ia memperhatikan firman Tuhan melalui Yeremia. Ayub dan Habakuk juga mendapatkan jawaban dari firman Tuhan. Jika bukan firman Tuhan, apalagi jawaban bagi pergumulan kita?
Si Pemazmur mendapatkan jawaban tentang kenikmatan orang fasik dan penderitaan orang percaya adalah ketika mendengar khotbah tentang penghakiman. Lucu yah. Bagaimana bisa orang lagi susah kok mendengar firman tentang neraka? Psikologi sekuler tidak bisa menerimanya. Matthew Arnold mengatakan, kalau memperhatikan kehidupan orang harus utuh. Jangan lihat enaknya sekarang tetapi lihatlah akhiratnya. Jadi, kesimpulan Pemazmur bahwa orang fasik senang selamanya, tidak sepenuhnya benar. Itu kesimpulan emosionalnya. Yang benar adalah bahwa memang mereka kelihatan senang sekarang tetapi nanti belum tentu. Kalau kita melihat kehidupan orang benar yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa lalunya, mungkin banyak penderitaan. Kalau kita melihat kehidupan orang fasik yang senang sekarang, jangan lupa melihat masa depannya, mungkin banyak penderitaan.
Sampai di sini, kita mendapatkan pelajaran berharga. Yang disebut dengan jawaban pergumulan itu bukan perubahan keadaan. Nanti di ayat selanjutnya juga kita lihat bahwa keadaan si Pemazmur tidak dicatat berubah. Dari tiga orang besar yang bergumul dengan penderitaan, hanya Ayub yang dicatat mengalami perubahan keadaan. Tetapi itu terjadi setelah ia mendapatkan jawaban firman yang merubah hidupnya dan membangun komitmen baru. Pemazmur dan Habakuk tidak mendapatkan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup melalui firman. Jadi, yang disebut jawaban pergumulan bukan perubahan keadaan tetapi perubahan hidup oleh firman yang diwujudkan dengan komitmen baru. Jangan bermimpi perubahan keadaan karena itu bukan jawaban Alkitab. Namun demikian, konsep ini tidak berarti kita tidak berusaha mencari jalan keluar. Itu hal lain yang tidak kita bicarakan di sini.
Bagian terakhir, akhir dari pergumulan itu, si Pemazmur membangun komitmen baru. Ada tiga komitmen di sini. Komitmen pertama, tetap dekat dengan Tuhan dalam penderitaan (ayat 23-24). Komitmen dalam keadaan sulit (ayat 21-22) bahkan ia merasa diri dungu dan seperti hewan. Dekat itulah baru ia mendapat kekuatan. Jika ia lari dari Tuhan, di manakah jawabannya? Banyak orang Kristen waktu susah malah menjauh dari Tuhan sehingga hidup mereka tambah parah. Jika saudara menjauh, sekarang kembalilah supaya Tuhan menjawab hidup saudara!
Dalam komitmen pertama itu kemudian kita melihat pertolongan Tuhan, persis seperti menolong orang yang pingsan. Dikatakan ”Engkau memegang tangan kananku”. Kalau Alkitab menyatakan bahwa Allah memegang kita dengan tangan kananNya itu berarti kekuatan (mis. Yes. 41:10). Kalau Alkitab mengatakan Allah memegang tangan kanan kita, itu berarti kenyamanan, supaya tidak jatuh tergeletak. Setelah itu, dituntun selangkah demi selangkah menuju ke tempat yang lebih baik secara kerohanian supaya ia tidak tergelincir (bdk. Ayat 2).
Komitmen yang kedua adalah tetap mengasihi Tuhan sekalipun dalam penderitaan (ayat 25-26). Kalau komitmen pertama adalah tetap dekat Tuhan sekalipun masih merasa tidak enak atau pusing maka yang kedua ini mulai menikmati dan mengasihi Tuhan. Komitmen ketiga adalah selama-lamanya berjalan bersama Allah. NIV menerjemahkan ”adalah baik bagi ku untuk dekat dengan Allah”. Selama-lamanya, entah susah atau senang, entah mendung, hujan atau cerah tetap berjalan bersama dengan Allah. Sehingga, komitmennya adalah kasih dari hati terdalam kepada Allah, tidak tergantung kondisi enak atau tidak.
Sampai di sini, si Pemazmur menang. Puji Tuhan. Ingin menang dalam penderitaan? Jangan jauhi Tuhan dan cintailah firman-Nya. Semoga!

Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Malang, Ketua Sekolah Theologia Reformed Injili Malang (STRIM) dan peneliti pada Reformed Center for Religion and Society. Beliau meraih gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Institut Reformed, Jakarta.

Spiritualitas Pemimpin Kristen

“….. kamu yang rohani harus memimpin orang … ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut….” (Galatia 6:1b)
PENGANTAR
Tajuk “Spiritualitas Pemimpin Kristen” bersifat tepat waktu.” Unsur tepat waktu dari tema ini didukung oleh kenyataan bahwa kondisi dunia yang berubah dan penuh dengan tantangan ini menuntut adanya pemimpin Kristen dengan kadar spiritualitas tangguh untuk memimpin. Disadari bahwa pemimpin Kristen sesungguhnya adalah pemimpin rohani, yang harus membuktikan kadar kerohaniannya sebagai dasar integritas dirinya yang merupakan kekuatan moral yang menopang diri serta kepemimpinannya. Pada sisi lain, integritas pemimpin tergantung sepenuhnya pada kadar spiritualitasnya, yang menunjuk kepada kepentingan keteguhan spiritualitas pada pemimpin Kristen. Kenyataan ini mendorong untuk bertanya, apa sesungguhnya spiritualitas itu dan seberapa pentingnya spiritualitas bagi seorang pemimpin Kristen? Dalam upaya menjawab pertanyaan ini, maka ada tiga pokok penting yang akan dipercakapkan dalam diskursus ini, yaitu antara lain: Pertama, Memaknai Spiritualitas Pemimpin; Kedua, Dinamika Spiritualitas Pemimpin Kristen sebagai dasar bagi otoritas kepemimpinan; Ketiga, Kadar Spiritualitas Pemimpin Kristen sebagai tolok ukur kualitas kepemimpinan.
MEMAKNAI SPIRITUALITAS PEMIMPIN
Spiritualitas atau spirituality adalah natur rohani yang menjelaskan tentang kadar karakter atau kualitas rohani seseorang. Berdasarkan pengertian ini, bisa dikatakan bahwa spiritualitas membayangi kadar karakter setiap orang, dimana karakter dapat merupakan ekspresi kualitas spiritualitas itu sendiri. Dalam hubungan ini dapatlah dikatakan bahwa spiritualitas adalah hakikat dan sifat hidup yang dibangun di atas kadar rohani atau kerohanian. Kebenaran ini menegaskan bahwa kerohanian yang tinggi merefleksikan spiritualitas yang tinggi yang terbayang dalam karakter yang agung. Hubungan spiritualitas dan karakter ini menjelaskan adanya kaitan integral yang saling mempengaruhi, antara kadar kerohanian seseorang dan karakter serta ekspresi dirinya. Spiritualitas di sini dapat dikatakan juga sebagai dasar bagi integritas seseorang. Di sini, percakapan seputar spiritualitas pemimpin dalam diskursus kali ini memiliki relevansi kuat untuk kehidupan kepemimpinan Kristen. Spiritualias juga merupakan ekspresi kesadaran diri akan kepentingan spiritulitas tinggi bagi pemimpin Kristen. Kepentingan spiritualitas tinggi bagi pemimpin Kristen dibangun oleh kenyataan bahwa spiritualitas itu adalah penting yang berfungsi sebagai dasar untuk mewujudkan kepemimpinan yang berkualitas. Tidaklah mengherankan, bahwa Rasul Paulus di dalam Galatia 6:1b mengatakan, “….. kamu yang rohani harus memimpin orang … ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut….” Makna dari nasehat ini dalam hubungannya dengan tema “Spiritualitas Pemimpin Kristen” sesungguhnya menekankan kepada faktor pemimpin, dimana kadar dan kekuatan kerohaniannya merupakan landasan bagi kekuatan etika – moralnya untuk memimpin yang olehnya ia dapat mewujudkan perannya mengangkat orang lain.
DINAMIKA SPIRITUALITAS PEMIMPIN KRISTEN DAN OTORITAS KEPEMIMPINAN.
Disadari bahwa dinamika spiritualitas pemimpin Kristen bersumber dari Allah. Tatkala Rasul Yohanes berbicara tentang kebenaran seputar otoritas spiritualitas Kristen, ia menegaskan, “Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup seperti Kritus telah hidup” (I Yohanes 2:6). Kebenaran ini menunjuk bahwa sesungguhnya Yohanes sedang menegaskan tentang sumber otoritas dari spiritualitas Kristen itu. Kebenaran seputar sumber otoritas Kristen ini mengandung tiga sisi yang harus dipahami dan dihidupi oleh setiap pemimpin Kristen, yaitu antara lain:
Pertama, Otoritas spiritualitas pemimpin Kristen hanya ada pada setiap orang yang ada di dalam Kristus. Kebenaran ini diteguhkan oleh Firman yang menegaskan bahwa “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan yang baru; yang lama sudah berlalu, sesunggunya yang baru sudah datang” (II Korintus 5:17). Di sini otoritas spiritualitas itu menjadi kokoh oleh kekuatan Roh Kudus, yang diteguhkan oleh Firman, bahwa “Allah memberikan kepada kita … roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban” (II Timotius 2:7b). Indikator dari otoritas rohani ini adalah adanya kekuatan (kuasa) rohani untuk hidup dan mengabdi berlandaskan kasih yang mengangkat dengan kadar penguasan dan ketertiban diri yang tinggi. Kebenaran ini dipastikan melalui tindakan kasih karunia Allah yang menyelamatkan itu, dimana Rasul Paulus mengatakan bahwa “Di dalam Dia kamu ….. dimeteraikan dengan Roh Kudus yang dijanjikan itu” (Efesus 1:13). Memeteraikan kebenaran ini di dalam jiwa pemimpin Kristen, Profesor J. Robert Clinton mengatakan bahwa “Orang yang memandang otoritas rohani sebagai dasar kekuasaan untuk melayani harus mengakui Sumber dari semua otoritas: (yaitu) Allah.” Pengakuan ini merupakan sikap sambutan iman atas apa yang telah dikaruniakan TUHAN Allah kepada pemimpin Kristen, sebagai dasar otoritas spiritualitas kepemimpinannya. Sikap ini menyebabkan ia berendah hati untuk mengakui bahwa “Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, Firman TUHAN semesta alam” (Zakharia 4:6).
Kedua, Otoritas spiritualitas pemimpin Kristen harus dibuktikan dengan adanya tanggung jawab memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus. Indikator kuat bahwa seorang pemimpin adalah pemimpin rohani ialah bahwa ia hidup oleh Roh Kudus, yang olehnya ia dapat menguasai dirinya dengan tidak menuruti keinginan daging (Galatia 5:16-17). Indikator kuasa positif yang pasti ialah bahwa dari kehidupan pemimpin rohani yang dipimpin oleh Roh Kudus, akan nyata kekuatan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22). Kebenaran inilah yang menjelaskan adanya dinamika kredibilitas pemimpin rohani.
Ketiga, Otoritas spiritualitas pemimpin Kristen dibuktikan dengan adanya integritas diri yang teguh. Integritas diri itu kebaikan hati, kebenaran, kemuliaan, keadilan, kesucian, kesedapan, kemanisan, kebaikan dan kepatutan untuk dipuji, keadilan, kesetiaan, ketaatan dan kejujuran yang membawa kemuliaan bagi Allah, karena segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan bagi Dialah kemualiaan sampai selama-lamanya (Filipi 4:5,8; Yesaya 32:1-2; Roma 11:36). Dalam hubungan ini dapat ditegaskan bahwa dinamika spiritualitas pemimpin Kristen akan ada dan nampak pada integritas diri pemimpin yang ada di dalam Kristus, yang relah memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus. Penyerahan diri ini adalah dasar kekuatan yang menopang pemimpin membuktikan integritas karakter Kristen yang teguh oleh kuasa Roh Allah. Dengan integritas diri ini pemimpin dapat berdiri teguh sebagai pemimpin rohani yang tangguh dalam menghadapi serta menjawab tantangan perubahan dunia yang mengancam.
KADAR SPIRITUALITAS PEMIMPIN KRISTEN DAN KUALITAS KEPEMIMPINAN.
Menengok balik akan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kadar kualitas spiritualitas pemimpin Kristen berbanding sejajar dengan kualitas kepemimpinannya. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa spiritualitas yang berkualitas menentukan adalah kekuatan bagi kualitas kepemimpinan. Dapat juga dikatakan bahwa kadar kualitas spiritualitas menentukan ketahanan dan kelanggengan kualtias kepemimpinan pemimpin rohani. Menguraikan kebenaran tentang kadar kualitas spiritualitas, dapatlah dikatakan bahwa faktor penting bagi peneguhan kadar kualitas spiritualitas  pemimpin Kristen adalah antara lain:
Pertama, Pemimpin rohani membangun diri di dalam Firman Allah (Mazmur 1; Yosua 1:7-9), sehingga ia memiliki karakter dan integritas diri yang kuat dimana ia dilengkapi untuk setiap perbuatan benar dan baik (II Timotius 3:15-17);
Kedua, Pemimpin rohani menjaga hatinya, sehingga ia rendah hati (Amsal 4:23) dan memimpin seperti Yesus Kristus yang memimpin dari hati (Matius 9:34-38), memimpin berdasarkan kasih yang mengangkat (Yohanes 13:1, 34-35), dan memimpin dengan kekuatan kebenaran dan kebaikan (Yohanes 14:6; Yesaya 32:1-2, 8, 117), sehingga ia mengamalkan damai, keadilan dan kesejahteraan dalam kepemimpinannya.
Ketiga, pemimpin rohani memimpin dengan mengandalkan TUHAN Allah (Yeremia 17:7-8; 9:23-24), sehingga ia menjadi bijaksana dan teguh dalam kepemimpinan melewati berbagai kondisi sulit (Amsal 18:10; 24:10; I Raja-raja 3:9, 12, 28).
Keempat, pemimpin rohani memimpin sebagai pemimpin teladan yang membawa berkat bagi orang yang dipimpin dan lingkungan kepemimpinan (Ibrani 13:7,17).
Kelima, pemimpin rohani memimpin dengan penuh pengabdian sebagai hamba dan pelayan (Markus 10:41-47; Lukas 17:10) yang dibuktikan melalui pelayanan terhadap orang yang dipimpin (I Petrus 5:1-4). Pemimpin yang memimpin dengan melayani seperti Yesus Kristus sajalah yang adalah pemimpin yang dapat membuktikan kualitas kepemimpinan yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk oleh hujan. Kebenaran ini ditegaskan oleh Nabi Daniel yang mengungkapkan, “Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang kepada kebenaran seperti bindatng-bintang, tetap untuk selama-lamanya” (Daniel 12:3).
RAMPUNGAN
Melihat uraian sebelumnya tentang otoritas spiritualitas kepemimpinan dan tentang kualitas kadar spiritualitas yang memiliki pengaruh terhadap kadar kualitas pemimpin Krsten dan kepemimpinannya, dapat dikatakan bahwa “kekuatan dan kualitas pemimpin terletak pada otoritas dan kadar spiritualitasnya.” Di sini dapat ditekankan bahwa “pemimpin Kristen dengan kadar otoritas spiritualitas tinggi sajalah yang akan membuktikan diri sebagai pemimpin yang bekualitas dan dapat mempertahan kualitas diri menghadapi tantangan dan tekanan dalam menjalankan kepemimpinan yang diembannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa “Pemimpin Kristen yang menjaga otoritas spiritualitas dan mengembangkan kadar spiritualitasnya adalah pemimpin berkualitas yang akan bertahan serta siaga menghadapi kenyataan kepemimpnan pada segala masa (II Timotius 4:1-6). Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang disiapkan untuk menghadapi masa depan yang sulit dan akan bertahan serta keluar sebagai pemenang dalam menjalankan kepemimpinannya secara langgeng dan berhasil (Nehemia 2:20).
Akhirnya, spiritualitas sejati hanya ada karena pemimpin Kristen hidup dan mengabdi seperti TUHAN-nya (I Yohanes 2:6), dimana ia mampu memimpin dari hati (yang penuh hikmat; Matius 9:34-38; Yesaya 32:8), berlandaskan kasih (yang mengangkat sesama Yohanes 13:1, 34-35; I Yohanes 4:7-10) dengan kekuatan kebenaran dan kebaikan (yang membawa damai sejahtera; Yesaya 32:17, 1-2; 15:15-16; Yohanes 14:6, 27; Matius 5:9). Dan lagi, spiritualitas sejati meneguhkan hubungan pemimpin dengan TUHAN Allahnya, Sang Pencipta, karena olehnya iahidup kudus (I Petrus 1:15-16); dan dapat melihat Allah (Matius 5:8), serta bersekutu degan DIA, hidup dalam ketaatan akan Firman berbasiskasih setia yang ditambatkan pada hatinya sehingga ia dihormati oleh TUHAN Allah dan manusia serta berhasil dan menjadi berkat dalam kepemimpinannya (Amsal 3:1-10; Kejadian 12:1-3). Selamat dan sukses bagi kemuliaan TUHAN Yesus Kristus. TUHAN Allah kiranya memberkati dengan limpahnya. Terimakasih
Motivator,

PEMIMPIN YANG BERKUALITAS

Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekejaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di depan orang hina ” (Amsal 22:29).
PENGANTAR
Ada pernyataan menarik, “jangan mengharapkan bahwa sesuatu akan terjadi apabila Anda tidak melakukan apa pun.” Kalau begitu, dengan tidak melakukan apa-apa, tidak ada apa-apa yang terjadi. Dan dapat juga dikatakan bahwa, dengan tidak melakukan apa-apa maka sesuatu sedang terjadi, yaitu, tidak terjadi apa-apa. Pernyataan di atas menyiratkan kebenaran bahwa “ada tempat bagi kerja, ada waktu bagi kerja, ada peran bagi kerja, ada guna bagi kerja.” Di sini dapat ditegaskan bahwa dengan bekerja sajalah maka Anda akan melihat ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang terjadi ini dapat berupa prosesmulai– berjalan – berakhir dan produk dari kerja, yang dapat dilihat serta dipahami dari berbagai sudut pandang. Dalam kaitan dengan kepemimpinan, kerja bagi pemimpin adalah “upaya memimpin” (leading attempt). Upaya memimpin ini merupakan tugas dan peran penting yang harus dilaksanakan oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang melaksanakan upaya memimpin berati ia sedang bekerja dengan memimpin. Dalam hubungan dengan upaya memimpin ini, pemimpin yang memimpin berpikir, bersikap berkata dan bertindak sebagai pemimpin, karena memimpin adalah kerjanya pemimpin.
Pemimpin dalam hal ini harus membuktikan keandalan memimpin dengan upaya memimpin optimal (optimum leading attempt) melalui tindakan atau pekerjaan memimpin yang tangguh. Dari sudut pandang yang sangat khusus, pemimpin yang melaksanakan upaya memimpin berarti ia memanejemeni SDM dan semua sumber dengan efektif, efisien, sehat dan produktif. Memimpin dalam perspektif ini berarti pemimpin memasuki kawasan manajemen, memimpin dengan memanajemeni yang terfokus kepada pencapaian tujuan organisasi. Upaya memimpin ini dibangun di atas sinergi dan simultanitas kerja unggul yang terfokus kepada kepada hasil besar, yang mengantar organisasinya ke arah keberhasilan besar. Upaya memimpin seperti ini dibangun di atas strategi, taktik dan pendekatan kepemimpinan yang kuat, yang kadar kompetitifnya tinggi. Dalam kaitan ini, pemimpin yang berhasrat untuk melaksanakan upaya memimpin berkualitas yang optimal, haruslah memimpin dengan pendekatan yang dinamis, komprehensif dan progresif. Memimpin dari sudut pandang ini berarti pemimpin sedang dan terus berupaya menempatkan diri serta organisasinya untuk tetap  berada di depan dalam percaturan lokal, regional, nasional mau pun global. Inilah indikator utama dari pemimpin yang tahu bekerja dengan melaksanakan upaya memimpin yang berkualitas.
  1. MAKNA UPAYA MEMIMPIN. Apa sesungguhnya makna dari upaya memimpin atau leading attempt itu? Upaya memimpin dapat dipadankan dengan actuating, atau “mengaktualisasikan pekerjaan memimpin.” Actuating di sini menjelaskan tentang pemimpin yang sedang berinisiasi, bergerak, menggerakkan, mengarahkan, mendukung, mengawasi dan mempertahankan dinamika kepemimpinan melalui memimpin. Memimpin dalam kaitan ini berarti pemimpin “bekerja sama, memenuhi kebutuhan, mempengaruhi, merangkum menyampaikan perintah (berkomunikasi), membangun peta masa depan organisasi (menyiapkan perencanaan strategis) dan menggunakan semua sumber.”  Upaya memimpin di sini juga berarti pemimpin memanajemeni atau mengelola kepemimpinannya yang menyentuh peran koordinasi (mengkoordinasi), perencanaan (merencanakan), pengorganisasian (mengorganisasikan), memimpin (actuating) dan mengawasi (supervising, evaluating, refining). Memanajemeni secara khusus di sini berarti mengelola hubungan kemanusiaan guna mewujudkan kerja kepemimpinan. Makna dari memanejemeni hubungan kemanusiaan ini ialah mewujudkan kerja sama melalui “pemenuhan kebutuhan, mempengaruhi secara terencana, berkomunikasi, dalam melaksanakan tugas berdasarkan perencanaan strategis membawa organisasi memasuki masa depan melalui penggunaan semua sumber pendukung.” Sumber-sumber itu adalah antara lain, men (manusia), machine (teknologi),material (materi atau bahan-bahan), money (uang), market (pasar),methods (metode-metode), moment (waktu), dan management systems (sistem manajemen). Pada sisi lain, upaya memimpin juga berarti influencing, yaitu “mempengaruhi secara terencana” yang diawali dengan menciptakan kondisi kondusif yang bertujuan untuk memberikan peluang dan menggerakkan bawahan, sehingga olehnya pekerjaan terlaksana secara sinergis dan simultan. Upaya memimpin secara padat berarti “pemimpin sedang bekerja dengan memimpin.” Bekerja dengan memimpin berarti pemimpin mengerahkan diri, semua komponen SDM dan sumber-sumber untuk melaksanakan tugas organisasi yang diwujudkan dengan menggunakan metode, strategi dan taktik unggul yang bersasaran membawa keberhasilan dalam seluruh proses kepemimpinan.
  1. UPAYA MEMIMPIN DAN DIRI SENDIRI. Pemimpin yang memimpin harus memastikan hal terpenting, yaitu bahwa ia kompeten bagi upaya memimpin itu. Pemimpin kompeten dalam upaya memimpin berarti ia memenuhi kriteria baik secara formal mau pun profesional serta kepribadian yang olehnya ia dapat bekerja sebagai pemimpin. Bagaimana pemimpin mewujudkan upaya memimpin dengan bekerja sebagai pemimpin itu? Dalam kaitan ini, pemimpin yang bekerja sebagai pemimpin harus mengawali dengan berpikir sebagai pemimpin, bersikap sebagai pemimpin, berkata dan bertindak sebagai pemimpin yang membedakannya dari para bawahan. Berpikir sebagai pemimpin menjelaskan bahwa sang pemimpin harus memikirkan hal besar dan inklusif bagi kepemimpinannya. Bersikap sebagai pemimpin menjelaskan bahwa ia memahami siapa dirinya dan apa perannya. Di sini sang pemimpin tahu sejauh mana serta sebesar apa kuasa kepemimpinan yang ada padanya, serta bagaimanamenerapkannya secara bijak dalam kepemimpinan. Berkata sebagai pemimpin berarti pemimpin berbicara sebagai pemimpin dengan berbijak hati, berbijak sikap serta berbijak cara bicara. Bertindak sebagai pemimpin berarti ia melakukan apa pun berdasarkan pertimbangan matang dan keputusan teguh. Dalam mewujudkan upaya memimpin, langkah utama yang harus diambil di sini adalah  sang pemimpin secara sadar mengelola perilaku (behavior) dan pola (style) kepemimpinannya. Di sini pemimpin menggelola behavior dan style-nya yang khas guna memastikan bagaimana ia mempengaruhi, sehingga orang yang dipimpin bergerak secara terencana dengan melaksanakan tugas (task/ duty) berdasarkan kewenangan (authority), hak (privilege), kewajiban (obligation), tanggung  jawab (responsibility), dan pertanggungjawaban (accountability) yang melekat pada setiap tugas yang dipercayakan kepada bawahannya pada semua jenjang dalam struktur organisasi. Pemimpin secara khusus harus mematutkan kuasa kepemimpinan lengkap (complete leadership power, yaitu kemampuan seutuhnya untuk menyebabkan sesuatu terjadi) yang ada padanya sehingga ia dapat melaksanakan upaya memimpin secara pasti dan bertanggung jawab. Dalam kaitan ini, pemimpin haruslah memastikan kompetensi (karakter – integritas tinggi; pengetahuan – kapasitas teguh dan kecakapan – kapabilitas andal) dirinya yang terus berkembang. Pemastian kompetensi dirinya ini bertujuan meneguhkan sang pemimpin, sehingga ia terbukti mampu dan dapat melaksanakan upaya memimpin secaraefektif (berkualitas – “do the right thing” – mengerjakan hal benar),efisien (berkuantitas – “do the right thing rightly” – mengerjakan hal benar secara baik), sehat (healthy relations – mewujudkan hubungan sehat yang organisasional dan personal) dan produktif(optimum productivity), sehingga upaya memimpinnya dapat berjalan dengan berhasil, langgeng dan finishing well dalam seluruh proses kepemimpinannya.
  1. UPAYA MEMIMPIN DAN ORANG YANG DIPIMPIN. Dalam melaksanakan upaya memimpin, pemimpin harus memastikan “sikapnya” (attitude) terhadap orang-orang yang ada padanya. Di sini, pemimpin harus membangun sikap positif yang menempatkan semua komponen manusianya (SDM) atau orang yang dipimpin sebagai subyek, yaitu rekan sepenanggung jawaban dan rekan kesewarisan keberhasilan. Sikap dasar yang terpenting dari pemimpin di sini adalah menghargai dan mempercayai orang-orangnya. Menghargai dan mempercayai di sini menjelaskan bahwa pemimpin memperlakukan setiap orangnya secara patut, dengan memberi tempat yang patut serta pas guna mewujudkan kapasitas mereka. Pemimpin dalam kaitan ini haruslah memberikan kredit (pengakuan) kepada kapasitas, cara kerja dan kontribusi mereka secara objektif. Sebagai langkah kongkrit mewujudkan tanggung jawab ini, pemimpin harus mengembangkan bawahannya ke arah kematangan (maturity) yaitu kematangan psikologis (yang olehnya mereka willing to work) dan kematangan kerja (able to do/ perform the job) dalam seluruh proses kepemimpinan. Pengembangan kapasitas bawahan ini dapat dilakukan pemimpin melalui pendekatan modelingon the job trainingmentoringequipping dandeveloping, atau pun pelatihan keahlian khusus. Pemimpin juga harus mempercayai bawahannya dengan mempercayakan (mendelegasikan) tugas, kewenangan, hak, kewajiban, tanggung  jawab dan pertanggungjawaban secara sepadan. Kesepadanan ini dibuktikan melalui adanya pemercayaan tugas secara penuh yang diteguhkan melalui tindakan membangun komunikasi, memberikan dukungan (backing), memonitor (monitoring) dan mengawasi secara nyata guna memastikan akan keterlibatan bawahannya secara penuh dalam seluruh proses kepemimpinan.
  1. UPAYA MEMIMPIN DAN SITUASI KEPEMIMPINAN. Dalam mewujudkan kepemimpinannya, pemimpin harus membangun upaya memimpin dengan bertanggung jawab menetapkan dan mencipta situasi kondusif bagi organisasinya. Situasi kondusif ini menyangkut beberapa faktor penting, antara lain., Pertama, Pemimpin harus mencipta atmosfir terbuka yang menyenangkanuntuk kerja. Kedua, Pemimpin juga harus menyediakan keluasan cakupan otoritas yang diberikan dan diizinkan bagi setiap bawahan mengikuti pendelegasian yang telah dilakukannya. Ketiga, Pemimpin pun harus mematutkan kondisi organisasi dengan situasi kontekstual dalam lingkungan di mana kepemimpinan dijalankan, sehingga kepemimpinannya dapat berjalan sesuai dengan tuntutan situasi secara menyeluruh. Di sini pemimpin harus memastikan bahwa ia sedang bertanggung jawab merekayasa kondisi organisasi “yang menyenangkan” dengan mencipta situasi kondusif yang mewadahkan pelaksanaan upaya memimpin dalam kepemimpinannya. Indikator penting dari terciptanya situasi kondusif ini ialah bahwa setiap komponen orang mengalami adanya suasana keterbukaan dan keleluasaan bergerak, dan berkreasi serta berinovasi yang dinampakkan dalam sikap serta kinerja yang dinamis. Suasana keterbukaan dan keleluasaan ini memberikan apresiasi, kesenangan serta gairah bagi bawahan untuk bekerja. Bawahan senang karena mereka merasa dipercayai dengan adanya kondisi menyenangkan dan keluasan otoritas yang memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi segala kemungkinan dan mengekspresikan kemampuan diri dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan kapasitasnya. Para bawahan juga merasa terdukung oleh atasan dengan adanya keleluasaan menggunakan cara kerja khas terbaik dari setiap personel. Keleluasaan otoritas dan cara kerja ini membuka ruang yang mendorong bawahan untuk memberikan partisipasi terbaik dalam mewujudkan sinergi dan simultanitas kerja karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa kontribusi mereka dihargai oleh sang pemimpin.
  1. UPAYA MEMIMPIN DAN PELAKSANAAN TUGAS KEPEMIMPINAN.Upaya memimpin sangat berkaitan dengan manajemen, yang merupakan praksis kepemimpinan. Dalam mewujudkan tugas kepemimpinan secara berkualitas, pemimpin harus mengawali dengan meneguhkan paradigma kualitas bagi organisasinya. Paradigma kualitas ini dilakukan dengan menerapkan pendekatanTotal Qualitay Management (TQM). Berkaitan dengan ini, pemimpin harus meletakkan dasar-dasar membangun budaya kualitas untuk memanejemeni dengan mengkoordinasi, merencanakan, mengorganisir, memimpin dan mengawasi seluruh pengerjaan tugas dalam proses kepemimpinan. Pemimpin dalam hal ini harus mengawali upaya membangun budaya kualitas dengan menetapkan “falsafah kualitas, konsep kualitas, cara kualitas, perangkat kualitas, proses kualitas, dan produk kualitas yang merupakan kebiasaan unggulan.” Pemimpin dalam mewujudkan budaya kualitas ini harus meneguhkan komitmen seluruh komponen SDM kepada kualitas, disiplin dan performansi tinggi yang dinyatakan secara berkualitas dalam seluruh proses kepemimpinan. Di sini, upaya memimpin sang pemimpin sedang dibangun di atas budaya kualitasseutuhnya, yang mewadahkan kepemimpinan berkualitas. Budaya kualitas ini harus nyata dalam seluruh proses, cara dan produk kepemimpinannya. Pada sisi yang lain, pemimpin yang melaksanakan upaya memimpin sedang memanejemeni dengan performansi tinggi (High Performance Management) yang harus diwujudkan melalui penerapan strategi dan taktik memimpin yang unggul. Pemimpin dalam hal ini harus mewujudkan sikap dan cara memimpin berkualitas. Sikap pemimpin dan cara memimpin berkualitas ini dapat dianalogikan sebagai tanah (tempat berpijak yang kokoh), air (kemurnian, kejernihan dan kelenturan), api(kekuatan dan daya), udara (penyemangat) dan kehampaan(peluang untuk segala kemungkinan).[1] Mewujudkan semua ini, sang pemimpin harus piawai dalam memilih medan untuk bergerak, menggunakan kekuatan kerahasiaan, membuktikan supremasi, mempraktekkan kecepatan gerak dan memberikan tindakkan pungktual yang menentukan.[2] Pemimpin harus membuktikan diri sebagai sangat berkapasitas dalam pikiran, sikap, kata dan tindakan strategis taktis yang jitu serta pas untuk setiap situasi. Dalam hubungan ini, pemimpin harus memastikan bahwa ia sedang mengelola sikapnya sebagai pemenang, dan bersikap seperti nahkoda, maestro, dan panglima pasukan komando yang bergaya strategos taktis sehingga ia akan selalu berada di atas, dan di depan, dalam percaturan, dengan mengerjakan yang terbenar – terbaik, dan berhasil yang membawa keuntungan besar bagi organisasi, staf, bawahan, lingkungan dan diri. Dari hubungan ini, pemimpin harus dapat membuktikan diri bahwa ia adalah seorang strategos taktisian yang andal yang mampu memimpin secara unggul. Pemimpin harus membuktikan diri bahwa ia memiliki sikap percaya diri tinggi, dengan mewujudkan gerakan memimpin terpadu dan tindakan gebrakan kerja yang pasti yang akhirnya menghasilkan sukses yang akan dinikmati banyak pihak. Upaya memimpin yang menghasilkan seperti ini akan membawa pemimpin dan organisasinya pada tempat di mana ia akan memperoleh pengakuan dan penghargaan yang tinggi dari banyak kalangan. Pengakuan ini hanya ada karena sang pemimpin telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang kompeten yang telah terbukti dalam seluruh proses upaya memimpin dan produk kepemimpinannya.
IMPLIKASI
Perlu ditegaskan bahwa kepemimpinan, organisasi, para bawahan, proses dan produk dari suatu upaya memimpin membayangi kualitas diri seorang pemimpin. Pemimpin yang berhasrat melaksanakan upaya memimpin secara berkualitas harus mematutkan aspek berikut:
  • Pemimpin harus memastikan bahwa ia telah membangun dirinya menjadi kompeten dengan pembuktian karakter tangguh (ada integritas yang diakui sebagai kredibel), ada pengetahuan teguh(kapasitas yang komprehensif dan khas lebih yang memberi kemampuan berpikir berkualitas), ada kecakapan andal(kapabilitas sosial – hubungan-hubungan dan kapabilitas teknis – yang meneguhkan aspek manajerial dengan kecakapan know how yang andal) yang berkembang dan diimplementasikan secara konsisten di dalam diri pemimpin.
  • Pemimpin secara khusus perlu memastikan bahwa ia mampu dan telah membangun hubungan dengan seluruh unsur manusia secara sehat dan responsif. Hubungan sehat dan responsif ini dibangun di atas sikap penghargaan, kepercayaan dan keterbukaan terhadap kapasitas, cara kerja dan kontribusi setiap unsur SDM dalam tugas yang dipecayakan.
  • Pemimpin harus memastikan bahwa ia telah menyiapkan kondisi kondusif, membangun sistem organisasi menjadi organisasi pembelajar dengan budaya organisasi berkualitas – yang terbukti  efektif, efisien, sehat, dan produktif yang terus dipertahankan secara konsisten melampaui kepemimpinan sekarang, memasuki estafet kepemimpinan masa depan.
  • Pemimpin harus memastikan bahwa ia mengelola sikapnya sebagai pemenang, dan bersikap seperti nahkoda, maestro, dan panglima pasukan komando yang bergaya strategos taktis andal, sehingga ia akan selalu berada di depan, mengerjakan yang terbenar – terbaik, dan berhasil dengan membawa keuntungan besar bagi organisasi, staf, bawahan, lingkungan dan diri.
  • Pemimpin harus dapat membuktikan diri bahwa ia adalah seorang strategos taktisian yang andal dan mampu. Keandalan dan kemampuan ini harus dibuktikan secara konsisten dengan sikap percaya diri tinggi, gerakan terpadu dan tindakkan yang pasti yang diwujudkan melalui gebrakan yang menghasilkan sukses langgeng yang memperoleh pengakuan banyak kalangan dalam seluruh proses dan produk kepemimpinannya.
  • Selamat menjadi pemimpin yang mampu memimpin secara andal yang konsisten.